Ibu Dini Melirikku

ternyata bener,  kulihat bu Nh. Dini pagi itu, sekitar pukul 05.50 ia sudah memperhatikan bunga-bunga yang mekar didepan rumahnya. ia tabur sesuatu di pot, aku mengamatinya dari kejauhan. kulihat bu dini teliti sekali melakukannya. Berpindah dari satu tanaman ke tanaman yang lain, jika ditangannya sudah habis, lalu bu dini mengambilnya lagi dari sebuah kantung kecil didekatnya. Dari jauh aku lihat itu seperti sebuah pupuk.
******
                Aku langsung beranjak dari tempat dudukku ketika melihat sebuah taxi warna putih masuk. Aku ingin tahu kemana arah taxi itu akan berhenti,  taxi itu berjalan mundur pelan-pelan. “dilarang masuk” itulah kata-kata kecil yang tertulis di depan rumah itu. Saya semakin penasaran ketika dihari sebelumnya bu widya bilang bahwa ana novelis terkenal yang tinggal di rumah itu. Ketika bu widya, memulai pembicaraan tersebut, saya sempat tidak percaya dengan ini, begitupun bu etika dan pak rendra malam itu(12/4). “bu Dini tinggal sendirian disini, dan ia menjadi pribadi yang tertutup, sulit untuk bertemu dengannya” kata bu widya. “masak sih bu?” ungkap saya tidak percaya.
                Kata-kata bu widya masih mengena di pikiranku, bener gag sih kalo bu Dini itu tinggal di wisma ini. aku masih sibuk dengan tugas di bagian perlengkapan, tapi aku tinggal sebentar nih aku jalan menuju ke dapur. Disana ada Fitri(rambo), dia ternyata sedang mengobrol dengan ibu-ibu dapur. “kamu sedanga apa mbo disini?” tanyaku kepadanya, ia menjawab “ ini loh lagi nyiapin makanan buat nanti jam 6 kan makan toh.”
                Rasa penasaranku semakin timbul ”bu, apa bener bu Nh. Dini itu tinggal di rumah pojok itu yah??” tanya ku sambil tersenyum “ia og dek, dia tinggal disitu, tapi kalo ingin bertemu dengannya harus bikin janji dulu, soalnya beliau itu sibuk. Biasanya ia melukis, kalo endak ya pergi kemana gtu, bu Dini juga sering melakukan diskusi-diskusi ke luar kota.” Ibu itu menjawab ketika masih memegangi alat masaknya.
                Ibu dapur bilang kalo bu Dini itu sebenarnya bukan orang yang tertutup, beliau sangat baik hati, jika bertemu dengannya, ia selalu ramah menyapa dengan senyuman. Walau usia bu Dini sekarang sudah menginjak 77 tahun, bu dini adalah orang yang sibuk dengan kegiatan. setahun sekali paling tidak ia pergi ke prancis untuk mengunjungi anaknya disana. Kata ibu yang di dapur, memang sudah lama jika Bu Dini tinggal sendirian disana. Jika ia ingin pergi kemana-mana biasanya bu Dini memakai jasa taxi.
********
saat udara masih dingin menusuk tulangku, ketika peserta LKMM-TM masih tidur pulas di kamar.Sebuah mobil berwarna putih sudah siap dihalaman kecil yang dimiliki bu Dini. sopir itu memasukkan satu koper dan satu pakaian yang dibungkus rapi dengan plastik, seakan-akan bu dini akan menghadiri sebuah pertemuan yang penting pagi itu.
                Aku sedikit merapatkan diri ke rumah bu Dini untuk dapat mengamatinya lebih jelas. Pura-pura aku melihat bunga-bunga yang meneteskan embun pagi itu. Bunga dengan mahkota warna ungu menjadi perhatianku, sangat cantik sekali kala itu. Tetes embun ini terlihat masih segar, “tik....... tik” begitu mungkin suaranya kala menyentuh paving yang sedangku pijaki.
                Sesekali aku juga melihat ke arah Dedy yang masih mencuci sepeda motornya, ia terlihat fokus dengan kesibukannya itu. Mungin dedy belum tau kalo saya sedang mengamati bu Dini.
                Bu Dini masih sibuk meneliti tanamannya pagi itu, ketika pak sopir memasukkan tongkat berwarna coklat. Sepertinya itu sebuah tongkat tangan untuk berjalan, tongkat itu lurus dan memiliki lengkungan dibagian pangkalnya. Sesekali aku memandangi lantai yang basah karena sisa hujan semalam. Agak licin, dan cukup berbahaya untuk sebuah tempat yang sebenarnya di peruntukkan bagi orang-orang wredha.
                Tak lupa ku hirup udara pagi itu dalam-dalam, aku merasakan nikmatnya. Udara khas pegunungan yang segar, dan mengandung uap air, sejenak membuatku lupa akan kesibukkan di kota semarang. Aku tak ingin cepat berlalu disini, ingin ku nikmati setiap hela nafas ini. nafas yang tidak bisa aku dapatkan dalam keseharianku.
                Eh ... aku terlena. Bu Dini sudah mau masuk ke dalam mobil. Ketika jarak aku dengannya semakin dekat, uban-uban dikepala beliauterlihat. Hampir aku tidak melihat “seret” hitam yang masih tersisa  di senja usianya. Aku tak tahu bu dini sering menyemir rambutnya atau tidak. Yang jelas bu dini tidak bisa menyembunyikan usianya itu dimata saya.
77 tahun sudah berlalu, yah maklum lah kalo ibu sudah putih rambutnya, tapi yang saya kagumi beliau masih bisa berjalan sendiri menuju taxi pagi itu. Bu dini masuk di pintu belakang sebelah kiri dengan dibantu pak sopir yang membukakan pintunya.
Jika dibanding dengan Simbah saya laki-laki bu dini terlihat jauh lebih bugar. Padahal simbah saya umurnya belum mencapai 77 tahun. Simbah saya sering minta diantarkan ke dokter setiap bulannya. yah malah kalo ketika sakitnya kambuh, untuk berjalan sendiri saja susah, terkadang terjatuh. Keseimbangannya sudah tidak normal kata dokter.
Mbreee....mmmm.... mbree....mmmm mobil sudah siap berangkat, supir mulai menginjak gas kemudian mobilnya berlalu. Sebelum mobil itu berlalu pergi, aku mempunyai waktu sepersekian detik untuk menyapa beliau didalam mobil. Ketika itu aku lemparkan senyum dan sedikit lambaikan tangan kepadanya. Waooww... ternyata aku mendapatkan senyuman dari beliau, senyuman terakhir itu masih aku ingat, senyuman yang dilanjutkan dengan “anggukan” tanda respect beliau kepada saya.

Hari terakhir disana(14/4), meninggalkan kenangan yang sangat indah bersama kawan-kawan LKMM. Tak lupa kejutan dari tuhan bisa bertemu dengan Bu Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, Novelis terkenal yang lahir di Semarang 29 Februari tujuh puluh tujuh tahun yang lalu. Terimakasih LKMM TM UDINUS, menjadi panitia yang tak terlupakan.


Twitter : @PranataWahyu
MUda dan Semangat

Comments