Twitter :@PranataWahyu
A.
TUJUAN AGAMA ISLAM MENSYARI’ATKAN PERKAWINAN
Sebagaimana
hukum-hukum yang lain yang ditetapkan dengan tujuan tertentu sesuai dengan
tujuan pembentuknya, demikian pula halnya dengan syari’at islam, mensyari’atkan
perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu pula yaitu :
1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah umat nabi muhammad SAW umat islam. Firman Allah SWT yang artinya :
“ Dan Allah SWT menciptakan dari dirimu untukmu jodoh-jodoh dan menciptakan diri jodohmu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki yang baik “. (Q.S.an-Nahr:72).
1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah umat nabi muhammad SAW umat islam. Firman Allah SWT yang artinya :
“ Dan Allah SWT menciptakan dari dirimu untukmu jodoh-jodoh dan menciptakan diri jodohmu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki yang baik “. (Q.S.an-Nahr:72).
2.
Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT
mengerjakannya, sesuai dengan hadist yang artinya :
“ Dari abdullah bin mas’ud, ia berkata : telah berkata kepada kami rasullulah SAW : “Hai sekalian pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Mak sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya”. (H.R.Bukhari & Muslim).
“ Dari abdullah bin mas’ud, ia berkata : telah berkata kepada kami rasullulah SAW : “Hai sekalian pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Mak sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya”. (H.R.Bukhari & Muslim).
3.
Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dengan istri, menimbulkan rasa kasih
sayang antara orang tua dengan anak-anak dan adanya rasa kasih sayang antara
sesama anggota-anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini
akan dirasakan pula dalam masyarakat atau umat, sehingga terbentuklah umat yang
diliputi cinta dan kasi sayang.
Firman Allah SWT :
“Dan diantara tanda ( kebesaran dan kekuasaan) Allah, bahwa ia menciptakan untukmu dari dirimu jodoh-jodoh agar kamu cenderung kepadanya dan menjadikan antara kamu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah, bagi kaum yang berfikir”. (Q.S.ar-Ruum:21).
Firman Allah SWT :
“Dan diantara tanda ( kebesaran dan kekuasaan) Allah, bahwa ia menciptakan untukmu dari dirimu jodoh-jodoh agar kamu cenderung kepadanya dan menjadikan antara kamu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah, bagi kaum yang berfikir”. (Q.S.ar-Ruum:21).
B.
HUKUM PERKAWINAN
Hukum
asal perkawinan adalah “mubah”, sesuai dengan firman Allah :
“. . . . . maka nikahilah olehmu wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat”. (Q.S.an-Nisaa’:3)
“. . . . . maka nikahilah olehmu wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat”. (Q.S.an-Nisaa’:3)
1.
Wajib
Orang yang diwajibkan kawin, ialah orang yang sanggup untuk kawin, sedang ia hawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah melakukannya. Melaksanakan perkawinan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah, berdasarkan hadist nabi SAW :
“Dari abdullah bin mas’ud ia berkata, telah berkata pada kami rasullulah SAW : “Hai sekalian pemuda barang siapa diantara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya“. (H.R.Bukhari & Muslim).
Orang yang diwajibkan kawin, ialah orang yang sanggup untuk kawin, sedang ia hawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah melakukannya. Melaksanakan perkawinan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah, berdasarkan hadist nabi SAW :
“Dari abdullah bin mas’ud ia berkata, telah berkata pada kami rasullulah SAW : “Hai sekalian pemuda barang siapa diantara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya“. (H.R.Bukhari & Muslim).
2.
Sunah
Orang yang disunahkan kawin, ialah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan yang terlarang. Sekalian demikian melaksanakan perkawinan adalah lebih baik baginya, karena rasullulah SAW melarang hidup sendiri tanpa kawin :
“Adalah Rasullulah SAW melarang dengan sangat hidup sendirian tanpa kawin, dan beliau bersabda : “Kawinlah olehmu wanita-wanita yang pencinta dan peranak, maka sesungguhnya aku bermegah-megah dengan banyaknya kamu itu terhadap nabi-nabi yang lain dihari kiamat”. (H.R.Bukhari & Ibnu Hibban).
Orang yang disunahkan kawin, ialah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan yang terlarang. Sekalian demikian melaksanakan perkawinan adalah lebih baik baginya, karena rasullulah SAW melarang hidup sendiri tanpa kawin :
“Adalah Rasullulah SAW melarang dengan sangat hidup sendirian tanpa kawin, dan beliau bersabda : “Kawinlah olehmu wanita-wanita yang pencinta dan peranak, maka sesungguhnya aku bermegah-megah dengan banyaknya kamu itu terhadap nabi-nabi yang lain dihari kiamat”. (H.R.Bukhari & Ibnu Hibban).
3.
Makruh
Orang-orang yang makruh hukumnya kawin ialah orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin. Pada hakikatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin, dibolehkan melakukan perkawinan, tetapi dihawatirkan ia tidak dapat mencapai tujuan perkawinannya, karna itu dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan.
Firman Allah SWT :
“Hendaklah menahan diri orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat) untuk nikah, hingga Allahmengucapkan dengan sebagian karunia- Nya. . .”. (Q.S.an-Nuur:33).
Orang-orang yang makruh hukumnya kawin ialah orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin. Pada hakikatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin, dibolehkan melakukan perkawinan, tetapi dihawatirkan ia tidak dapat mencapai tujuan perkawinannya, karna itu dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan.
Firman Allah SWT :
“Hendaklah menahan diri orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat) untuk nikah, hingga Allahmengucapkan dengan sebagian karunia- Nya. . .”. (Q.S.an-Nuur:33).
4.
Haram
Orang yang diharamkan kawin ialah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin, tetapi kalau ia kawin diduga akan menimbulkan kemadharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya .
Orang yang diharamkan kawin ialah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin, tetapi kalau ia kawin diduga akan menimbulkan kemadharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya .
C.
SIFAT WANITA YANG DIANJURKAN UNTUK DIPINANG
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Wanita itu
dinikahi
karena empat hal : karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang
beragama,
(jika tidak) maka kasihan kamu”.
[HR. Bukhari juz 6, hal. 123]
KB atau punya anak banyak?
Dari Anas bin Malik, ia
berkata : Dahulu Rasulullah SAW memerintahkan
supaya menikah dan
melarang membujang dengan larangan yang keras,
dan beliau pun bersabda,
“Nikahilah wanita yang penyayang lagi yang bisa
memberi keturunan yang
banyak, sesungguhnya aku bangga dengan
banyaknya kalian di
hadapan Nabi-nabi pada hari qiyamat”. [HR. Ahmad juz 4, hal. 488,
no. 13570]
Gadis atau janda?
Dari Jabir bin ‘Abdullah,
ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda
kepadaku, “(Hai Jabir),
apakah kamu menikah ?”. Aku jawab, “Ya”. Beliau
bertanya lagi, “Gadis atau
janda ?”. Aku jawab, “Janda”. Lalu Nabi SAW
bersabda, “Mengapa tidak
yang gadis saja, sehingga kamu dapat bercanda
dengannya dan diapun dapat
bercanda denganmu ?”. [HR. Abu Dawud juz 2, hal.
220, no. 2048]
D.
MAHAR ( MASKAWIN )
1.
Arti mahar
Dalam istilah ahli fiqih disamping perkataan “Mahar” juga dipakai perkataan : “Shadaaq”, “Nihlah”, dan “Faridhah”. Dalam bahasa indonesia dipakai perkataan “maskawin”. Di zaman arab jahiliyah dikenal perkataan “Shadaaq” dan “Mahar”. “Shadaaq” ialah pemberian yang diberikan oleh suami kepada istrinya diwaktu datang pertama kali kerumah istri itu. Dan “Mahar” ialah pemberian yang diberikan oleh calon suami kepada orang tua calon istrinya karena ingin kawin dengan calon istrinya.
Dalam istilah ahli fiqih disamping perkataan “Mahar” juga dipakai perkataan : “Shadaaq”, “Nihlah”, dan “Faridhah”. Dalam bahasa indonesia dipakai perkataan “maskawin”. Di zaman arab jahiliyah dikenal perkataan “Shadaaq” dan “Mahar”. “Shadaaq” ialah pemberian yang diberikan oleh suami kepada istrinya diwaktu datang pertama kali kerumah istri itu. Dan “Mahar” ialah pemberian yang diberikan oleh calon suami kepada orang tua calon istrinya karena ingin kawin dengan calon istrinya.
2.
Dasar Hukum Mahar
Para ahli fiqih ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah dan ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan syarat syah nikah, karena itu tidak boleh ada tujuan untuk meniadakannya, sesuai dengan firman Allah : “ Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu kawini) sebagai pemberian yang wajib”. (Q.S.An Nisaa’: 4).
Para ahli fiqih ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah dan ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan syarat syah nikah, karena itu tidak boleh ada tujuan untuk meniadakannya, sesuai dengan firman Allah : “ Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu kawini) sebagai pemberian yang wajib”. (Q.S.An Nisaa’: 4).
3.
Tidak Ada Ketentuan Besar Kecilnya Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maximum dari mas kawin. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinnya. Dalam menetapkan jumlah besar atau kecilnya mas kawin itu diperlukan kerelaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, berdasarkan hadist nabi
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maximum dari mas kawin. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinnya. Dalam menetapkan jumlah besar atau kecilnya mas kawin itu diperlukan kerelaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, berdasarkan hadist nabi
Dari ‘Ashim bin ‘Abdullah,
ia berkata : Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Amir
bin Rabi’ah, dari ayahnya,
bahwasanya pernah ada seorang wanita dari
Bani Fazarah yang dinikah
dengan (mahar) sepasang sandal, lalu
Rasulullah SAW bertanya, “Ridlakah kamu atas dirimu dan
hartamu
dengan (mahar) sepasang
sandal ?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah
SAW memperkenankannya”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 290, no. 1120, dan ia berkata : Hadits
hasan shahih]
4.
Bentuk Maskawin
Boleh dijadikan maskawin apa saja yang dapat dimiliki dan ditukarkan, kecuali benda-benda yang diharamkan Allah, seperti Hamar, Daging babi dan sebagainnya. Adapula mahar yang berbentuk upah yaitu seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang maharnya lelaki mengambil upah dari sesuatu pekerjaan kepada pihak istri. Perkawina dengan mahar upah ini disebut nikah bil ijaarah. Mahar yang seperti itu diperbolehkan oleh agama juga berdasarkan nabi Syu’aib a.s. Dalam menikahkan putrinya dengan nabi musa a.s Sebagai tersebut dalam Al Qur’an :
“ Berkata Syu’aib : “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu (Musa) dengan salah seorang dari kedua anak (Putri) ku ini, dengan (Mahar) bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. . .” (Q.S.Al Qashash : 27).
Boleh dijadikan maskawin apa saja yang dapat dimiliki dan ditukarkan, kecuali benda-benda yang diharamkan Allah, seperti Hamar, Daging babi dan sebagainnya. Adapula mahar yang berbentuk upah yaitu seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang maharnya lelaki mengambil upah dari sesuatu pekerjaan kepada pihak istri. Perkawina dengan mahar upah ini disebut nikah bil ijaarah. Mahar yang seperti itu diperbolehkan oleh agama juga berdasarkan nabi Syu’aib a.s. Dalam menikahkan putrinya dengan nabi musa a.s Sebagai tersebut dalam Al Qur’an :
“ Berkata Syu’aib : “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu (Musa) dengan salah seorang dari kedua anak (Putri) ku ini, dengan (Mahar) bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. . .” (Q.S.Al Qashash : 27).
5.
pelaksanaan pemberian mas kawin
mas kawin wajib di berikan oleh suami kepada istri apabila telah
terjadi kumpul dan
suami tidak boleh menguranginya sedikit pun. Firman Allah SWT yang
artinya :
“ Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang
diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun. . . .” (Q.S.An Nissa’ : 20)
6.
Macam-macam maskawin
a.
Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan
bentuk dan jumlahnya dalam shigat aqad.
Mahar musamma terbagi menjadi 2 yaitu mu’ajjal dan mu-ajjal.
Kewajiban membayar mahar musamma apabilla :
1.
Telah terjadi dukhul antara suami dan istri
2.
Apabila salah seorang suami atau istri meninggal
dunia
3.
Telah terjadi khalwat, maka suami wajib membayar
mahar
b.
Mahar mitsil adalah mahar yang jumlahnya
ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena
pada waktu nikah jumlah mahar itu belum ditetapkan bentuknya.
E. PERWALIAN
1. Pengertian
perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang
untuk menguasai dan melindungi orang
atau barang.
Perwalian dibagi menjadi 3 garis besar yakni :
a. Perwalian
atas orang
b. Perwalian
atas barang
c. Perwalian
atas orang dalam perkawinannya
2. Dasar
hukum
Al-Baqoroh : 232 yang artinya “..... maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka (wanita-wanita yang dibawah perwaliannya) kawin dengan calon
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang
ma’ruf....”
Apabila dalam melaksanakan haknya, para wali tidak mengindahkan
ketentuan agama, maka hak perwalian itu dipindahkan kepada wali yang lain dengan
keputusan hakim.
3. Syarat
menjadi wali
a. Sorang
mukallaf adalah orang yang dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
b. Muslim
“janganlah orang-orang mukmin mengangkat orangkafir sebagai wali-wali
mereka dengan meniggalkan orang-orang mukmin...” QS ali imran : 28
Seorang
wanita itu tidak sah menikahkan dirinya sendiri (tanpa wali)dan wanita lain
yang menjadi wali nikahnya.
Dari Abu Musa, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak ada nikah
melainkan
dengan (adanya) wali”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal.
280, no. 1107]
Dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak ada nikah
melainkan dengan wali dan dua orang saksi
yang adil. Dan pernikahan
yang tidak seperti itu, pernikahan itu
bathal. Maka jika para walinya
berselisih (saling bertengkar), maka penguasa
(hakim) adalah wali bagi
orang yang tidak punya
wali”. [HR. Ibnu Hibban juz 9, hal.
386, no. 4075]
Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda,
“Siapasaja wanita yang
menikah tanpa idzin walinya, maka nikahnya
bathal, maka nikahnya
bathal, maka nikahnya bathal. Maka jika
laki-laki itu sudah
mengumpulinya, maka si wanita berhak
mendapatkan maharnya, karena
apa yang telah terjadi itu. Dan jika
wali-walinya itu berselisih (bertengkar),
maka penguasa (hakim) sebagai wali orang yang
tidak mempunyai wali”.
[HR. Daruquthni juz 3, hal. 221, no. 10]
Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah
SAW bersabda, “Janganlah
wanita menikahkan wanita dan janganlah wanita menikahkan dirinya
sendiri, karena wanita pezina itu ialah yang
menikahkan dirinya sendiri”.
[HR. Daruquthni juz 3, hal. 227, no. 25]
Izin dari wanita yang akan kawin
Tujuan pernihakan ialah untuk membina keluarga yang bahagia, diliputi
rasa kasih sayang dan diridlai allah.
Tujuan ini akan tercapai apabila calon-calon mempelai telah saling suka
menyukai untuk ikatan perkawinan, hal ini dilahirkan berupa izin dan
persetujuan dari kedua belah pihak.
“orang-orang yang tidak memiliki jodoh lebih berhak atas perkawinan
dari pada walinya, dan gadis itu dimintakan perintah (untuk mengawinkan
dirinya) kepadanya dan (tanda)izinnya adalah diamnya” (H.R Bukhari dan Muslim)
c. Perkawinan
anak kecil
Ahli fikih sepakat untuk membolehkan bapak atau kakek untuk mengawinkan
anak-anak atau cucu-cucu mereka yang belum dewasa tanpa minta izin kepada
mereka terlebih dahulu. Pendapat ini didasarkan kepada perkawinan rasullah SAW.
d. Yang
boleh menjadi wali
Menurut mahzab syafi’i urutannya adalah :
1. Bapak,
kakek dan seterusnya keatas.
2. Saudara
laki-laki sekandung (seibu sebapak)
3. Saudara
laki-laki sebapak
4. Anak
dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya kebawah
5. Anak
dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya kebawah
6. Paman
(saudara dari bapak)sekandung
7. paman
(saudara dari bapak) sebapak
8. anak
laki-laki dari paman sekandung
9. anak
laki-laki dari paman sebapak
F. SAKSI
Adanya saksi merupakan kewajiban
yang harus ada dalam suatu pernikahan.
“bersabda rasulullah SAW : tidak
(sah) nikah kecuali dengan wali dan 2 orang saksi yang adil” (H.R. Ahmad bin
Hambal)
1. Syarat
saksi
“dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi dari orang laki-laki maka
(boleh) seorang laki-laki dan 2 orang perempuan dari saki-saksi yang kamu
ridla, agar jika yang seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkan” (QS. Al
Baqarah : 282)
G. NAFKAH
Memiliki arti ialah kebutuhan pokok
yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkan.
Nafkah bapak kepada anak-anaknya dan
isterinya.”para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban bagi ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Tidak
diberati seorang diri, kecuali menurut usahanya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena ank-anaknya, dan seorang ayah karena anaknya dan
warispun berkewajiban demikian....” (Q.S. Al-Baqarah : 233)
H. PERGAULAN
SUAMI ISTRI
Dalam ikatan pernikahan islam
sepasang suami istri juga memiki aturan dalam melakukan hubungan atau
pergaulan, sebagai mana dalam kalam Illah berikut ini :
“dan bergaullah dengan mereka
(isteri) dengan cara yang patut, kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S. An Nisa : 19)
Diatas merupakan hak isteri, adalagi
perintah bagi suami untuk menjaga istri dan anak-anaknya agar tidak masuk ke
dalam neraka (Q.S. At Tahrim : 6) dan kalau memiliki isteri lebih dari satu
maka seorang suami harus berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan
anak-anaknya.
Sebaliknya isteri, seorang suami pun
memiki hak-hak yang melekat kepada predikatnya sebagai seorang suami. Adapun
hak-hak itu adalah seorang isteri haruslah taat kepada suaminya.
1. Taat :
seorang isteri hendaklah taat kepada suaminya dalam melaksanakan urusan-urusan
rumah tangga mereka, selama suaminya masih taat kepada Allah.
2. Seorang
isteri harus mengurus dan menjaga rumah tangga suaminya.
MENGUMBAR SYAHWAT
SYAHWAT adalah fitrah manusia. Tidak
bersifat buruk. Juga tidak bersifat baik. Netral. Bergantung kepada orang yang
memiliki dan melakukannya. Karena itu, syahwat tidak boleh di matikan. Karena ,
ini adalah salah satu sifat bawaan yang menjadikan manusia menjadi sifat
manusiawi. Syahwat adalah dorongan nafsu biologis di dalam diri manusia yang
menyebabkan dia tertarikkepada lawan jenisnya. Tetapi, ada juga yang tertarik
kepada sesama jenis. Lelaki tertarik kepada lelaki, dan wanita tertarik kepada
wanita. Yang ini tidak normal. Meskipun dorongan itu juga di sebut syahwat. Sebagaimana
firman Allah:
“. . . . . Sesungguhya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan syahwat
mu (kepada mereka), bukan kepada wanita, sungguh kamu adalah kaum yang
melampaui batas . . . . .”(Q.S. Al
A’raaf (7): 810) Segala
perbuatan yang melawan fitrah pastilah akan menimbulkan masalah. Cepat atau
lambat.
3.
Demikian dengan perbuatan
homoseks. Praktek semacam ini sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai
macam penyakit. Sebagaiman firman Allah: “. . . . . Mengapa kamu mendatangi
laki-laki untuk (memenuhi) syahwat, bukan wanita? Sebenarnya kamu kaum yang
tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). . . . . “(Q.S. An Naml (27): 55) Di era modern ini, kita telah mengetahui
sebagai akibat negatif dari praktek homoseksual tersebut. Di antaramya adalah
tersebarnya penykit HIV-AIDS yang sangat mematikan dan sulit di sembuhkan.
Selain penyakit yang bersifat fisik, tentu saja hal ini memunculkan berbagai
penyakit sosial dan masalah pada penurunan generasi-generasi sesudahnya
Sebagaimana firman Allah: “. . . . Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah
bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. . . . .” (Q.S. Al Anfaal (8): 25)
4.
Jika syahwat ini disalurkan
sebagaimana mestinya, justru akan menghasilkan energi positif yang bermanfaat
untuk kita. Secara fisik, banyak penelitian yang menyebutkan bahwa penyaluran
syahwat yang baik dan benar akan menyehatkan. Secara psikis, penyaluran syahwat
yang terkendali dengan baik akan memberikan rasa tenang dan bahagia. Dan secara
sosial, penyaluran syahwat yang baik dan benar akan menekan angka
penyakit-penyakit sosial yang cenderung merusak di jaman modern ini. Seperti
pelacuran, perselingkuhan, aborsi, dll. Sayangnya, kehidupan modern justru
cenderung untuk mengajak mengumbar syahwat. Bukan mengendalikanya. Saking
seringnya melihat adegan seperti itu, sampai-sampai kita menganggapnya sudah
biasa. Tapi apa akibatnya? T ernyata, kita juga harus menanggung dampak
negatifnya. Karena itu Allah mengingatkan kita agar mencegah perbuatan dosa,
dan mengajak pada kebaikan. Perselingkuhan misalnya, menjadi hal biasa di
antara kita. Para pejabat negara, wakil rakyat, selebritis, sampai rakyat
jelata.
Syahwat yang tidak terkendali
dan di lepas secara sembarangan menjadi salah satu sumber masalah yang cukup
serius dalam kehidupan manusia. Bahkan, sejak manusia generasi pertama. Nabi
Adam dan keluarganya. Konon , kebencian Qabil terhadap Habil, salah satunya
juga di karenakan urusan syahwat. Qobil ingin mengawini saudara kembarnya.
Namun orang tuanya justru mengawinkan saudara kembarnya itu dengan Habil
adiknya, sementara ia sendiri dikawinkan dengan saudara kembar Habil. Kebencian
itu lantas menjalar pada berbagai aktifitas. Puncaknya , adalah ketika qurban
Qobil tidak di terima.temen2 bisa juga download file presentasinya : di sini
Comments
Post a Comment