Iwan : Kamar Kecil Cita-Cita Sederhanaku



Kudus Memang Djancuk i” kalimat pertama yang diungkapkan Iwan berhasil membuat penonton tertawa lepas. Logatnya terdengar aneh jika di ucapkan oleh mulut yang sudah tinggal lama di New York, Amerika Serikat. Iwan Setyawan adalah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang berhasil untuk mewujudkan cita-citanya. Menciptakan kamarnya sendiri. Ya berawal dari tidur layaknya pindang yang berjejer bersama saudaranya. Cita-cita memiliki kamar sendiri itulah yang ingin ia capai.
            Kenapa Kudus itu Djancuk i ? yo lah orang saya gag pernah di undang kemari. Baru kali pertama saya datang di kota kudus” . Iwan sebelumnya pernah datang ke Jogja, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Pria berbadan kecil ini sempat di jadikan bahan candaan oleh cak lontong. Ketika dipanggil oleh cak tentunya ia langsung berjalan menuju panggung Open Mic Open Mind tersebut. Namun sial cak lontong bilang kepada penonton bahwa harap menunggu sebentar, karena bang Iwannya Baru Belum 100% alias masih loading di jalan. Kembali gelak tawa penonton riuh.
            Berawal dari keluarga pas-pas an. Keluarga sopir angkot menjadi tempat ia di lahirkan dan di besarkan. “Masalah harta, saya dan teman saya sama-sama miskin, masalah badan saya lebih kecil jika dibanding teman saya. Satu hal yang bisa membedakan saya dengan mereka, Intelektual .saya harus pandai”. Ungkap dia ketika di atas panggung.
Ia mengingatkan bahwa anak-anak gaul sekarang adalah Pemuda yang mencintai membaca dan menulis. Membaca bukunya PRAM, Tan Malaka, Soekarno dan masih banyak lagi. Ia menceritakan kisah Bung Hatta ketika diasingkan. Bung Hatta mengatakan bahwa saya tidak pernah merasa diasingkan jika bersama-sama dengan buku dan saya bisa membacanya. Itulah ke kenapa ia membawa 16 Petinya yang dibawa dengan truk ke pengasingan.
Anak muda yang keren jaman sekarang adalah anak muda yang ke cafe sambil dududk baca buku. yang intelektualnya tinggi, yang sering buka-buka jurnal ilmiah, yang menghasilkan banyak karya, dan juga Djancuk’i. Hahaha,, suara itu terdengar lagi dari riuhnya penonton.
Menjadi lulusan terbaik IPB tahun 1997 membuat Iwan di “jenggung” oleh ibunya. “ternyata kowe pinter yo wan” kata ibunya kaget usai melihat anaknya berdiri di depan panggung kelulusan dengan IPK 3,56 dari jurusan Statistika, FMIPA. Kata mas Iwan ini adalah imbalan untuk Angkot yang di jual Bapak. Sebagai ganti dari uang yang harus direlakan keluarganya untuk membiayainya masuk Kuliah.
Dari kota apel ke Big Apple. Batu-Malang, tempat ia di besarkan. setelah menempuh pendidikan di IPB ia sempat galau untuk mencari Pekerjaan. Namun beruntunglah, dari hasil makan di warung pecel deket kampus ia mendapat informasi pekerjaan dan langsung dikejarnya pekerjaan tersebut, Ke Jakarta. Kemudian iwan pindah ke Danareksa Research Institute, Melihat prestasinya yang bagus lalu iwan ditawari untuk kerja di New York, sebagai Data Processing Exceutive Nielsen International Research.
8 tahun berkarir di NY city tak melunturkan kecintaan terhadap tanah kelahirannya di kota Batu, Jawa Timur. Ia sempat bekerja di singapore, namun menurutnya kerja di singapore kurang nyaman karena orang-orang disana seperti robot, dan akhirnya ia minta untuk break dan bertekat menulis novel pertamanya, 9 Summers 10 Autumns. Novel ini berhasil ia selesaikan hanya dalam 6 bulan. Ketika novel ini akan diterbitkan oleh gramedia Ibunya berkata, ia tidak malu karena semua kisah based on true story di hidupnya di ceritakan kepada orang banyak. Malah ibunya senang bisa berbagi kisah kebahagiaan yang dapat menginspirasi banyak orang.
 Aku ingin membangun sebuah kamar kecil, di Tanah Airku,” janjinya. Meski sudah memiliki apa yang ia inginkan dan cita-citakan semenjak kecil. Rasa cintanya terhadap tanah air tidak dapat di bendung lagi, iwan ingin berbagi inspirasi dan melihat anak tukang angkot lain berhasil di negeri ini. “Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kerinduan akan rumah kecil dan Tanah Airnya. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.”


Twitter    : @PranataWahyu
Lembaga Pers Mahasiswa Pena Kampus UMK.

Comments