Edy Supratno 2
Pengantar
Di
samping itu, Sigit juga merangkap sebagai ‘tukang ojek’ bagi dosen dari luar
Kudus yang tidak mengendarai kendaraan sendiri. Sebab angkutan umum di kota
Kudus belum seramai saat ini sehingga sekarang orang bisa memilih naik angkot,
becak, bahkan taksi. Tidak sampai di situ, Sigit juga harus keluar keringat
angkat meja dan kursi ketika tiba-tiba perkuliahan dipindahkan karena tempatnya
digunakan untuk keperluan lain (Beta/IX:2010).
Itulah
gambaran perkuliahan di Kudus tempo doeloe
yang perguruan tingginya bernama Sekolah Tinggi Ekonomi (STE). Itu adalah
suasana awal perintisan berdirinya Universitas Muria Kudus (UMK) seiring dengan
berdirinya empat perguruan tinggi lain di Jawa Tengah, seperti: Universitas Pancasila
Tegal, Universitas Slamet Riyadi Solo, Universitas Tidar Magelang, dan
Universitas Wijaya Kusuma Purwokerto. Karena belum mempunyai kampus sendiri,
UMK menumpang di beberapa tempat untuk perkuliahan. Baik sekolahan maupun di
gedung bioskop.
Seiring
waktu dan meningkatnya jumlah mahasiswa, kebutuhan memiliki kampus sendiri
dirasa sudah tidak bisa ditunda lagi. Tim pendiri yang merupakan dosen dari Kopertis
V lalu menghadap Bupati Kudus dalam rangka meminta lahan untuk pembangunan
kampus. Oleh Bupati Kudus Letkol Wimpie Hardono kemudian memberi lahan lima
hektare yang merupakan bekas kuburan Cina di Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae
(Peka/VI:2005).
Skup pemberitaan Peka
Membincangkan
sejarah UMK bukan perkara mudah. Apalagi membedah sejarahnya dari berita yang
dimuat di majalah kampus. Sebab, kampus yang lahir tahun ’80-an ini mengalami
perkembangan yang relatif maju. Baik perkembangan fisik maupun nonfisik. Dari saat
kampusnya sepi kendaraan sampai lokasi parkirnya tak muat menampung kendaraan.
Dari
aspek waktu, kelahiran Majalah Pena Kampus (Peka) dengan UMK terpaut jarak yang
relatif jauh.[1] Dengan
demikian ada dimensi yang tidak terberitakan oleh Peka karena belum lahir.
Seperti
media massa cetak pada umumnya, ada beberapa keterbatasan yang dimiliki media
massa itu sendiri. Pertama dari sisi dimensi waktu. Sebagaimana diketahui produk
jurnalistik membutuhkan tahapan dan proses seperti pencarian data, penyusunan
berita, edit, lay out, mencetak, hingga distribusi. Hal ini mau tidak mau membuat
pihak redaksi harus bisa mengatur diri kapan penerbitannya. Pada umumnya, pers
mahasiswa terbit tiap satu semester.
Jika
mau dibandingkan dengan media massa umum jadwal penerbitan tiap enam bulan sesungguhnya
relatif lama, tetapi untuk bisa terbit secara rutin bukanlah mudah. Mengingat ada
banyak tugas perkuliahan yang bisa membuat penerbitan molor. Apalagi komitmen
pengelolanya beragam, ada yang sekadar numpang nama untuk tenar.
Selain
persoalan dimensi waktu, keterbatasan lain dalam penerbitan adalah tentang space halaman. Dengan keterbatasan ruang
ini (sekitar 54 halaman) pihak redaksi dituntut bisa menyajikan pilihan tema
dan sudut pandang yang bisa diterima pembaca. Dengan demikian di redaksi
sendiri telah terjadi proses seleksi content,
misalnya berita apa dan berita bagaimana yang perlu disajikan di halaman
majalah, tema dan tokoh-tokoh yang perlu dijadikan narasumber, gambar atau
ilustrasi apa yang perlu ditonjolkan dalam sampul, dan lain sebagainya.
Apa
yang terjadi hari ini akan menjadi sejarah pada hari esok. Dengan demikian ada
kejadian sejarah di UMK yang tidak terdokumentasi atau sengaja tidak
didokumentasikan oleh Peka. Dengan kata lain memotret sejarah UMK secara luas melalui
Peka tentu tidak sepenuhnya bisa. Sebagai contoh demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa terkait dengan kebijakan kampus tidak menjadi bagian sejarah yang
tercatat di Peka.[2]
Menilik
dari aspek cakupan isi berita, pada awalnya Peka belum membedakan antara berita
dalam Laporan Utama (Laput) dan Laporan Khusus (Lapsus). Skup keduanya
sama-sama tentang eksternal. Setelah edisi III dan seterusnya, pihak pengelola
konsisten untuk menjadikan rubrik Lapsus skupnya untuk internal kampus.
Secara
umum tema yang diangkat dalam rubrik Laput Peka 86 persennya dari persoalan
eksternal. Seperti politik, pendidikan, proyek pemerintah, ekonomi, perburuhan,
sejarah, lingkungan, dan lalu lintas. Adapun 14 persennya menyangkut tentang
internal, seperti perjokian skripsi, bisnis seks pelajar, dan pemberantasan
buta aksara. Sedangkan dalam Lapsus, 85 persen beritanya menyangkut internal
UMK, selebihnya tentang eksternal.
Pada
edisi perdana redaksi mengangkat persoalan politik, yaitu tentang pemilihan
kepala daerah yang ketika itu pemilihan secara langsung baru sebatas wacana. Pengambilan
tema ini menunjukkan pandangan jauh ke depan.
Sejarah wong cilik
Dalam
jurnalistik ada istilah name makes news,
nama membuat berita. Seseorang yang sudah punya nama, apapun yang dilakukan
seolah-olah laku diberitakan dan masyarakat perlu tahu berita itu. Sehingga
muncul berita di media massa pemenang lomba kontes kecantikan memungut sampah
dan menanam pohon penghijauan sebagai wujud cinta lingkungan. Padahal, ada
jutaan petani atau orang desa yang setiap hari melakukan kegiatan yang sama,
tapi tak pernah terberitakan karena aktivitasnya tersebut.
Contoh
lain, peristiwa kerusuhan di satu pelosok desa di Nusa Tenggara Timur misalnya,
yang banyak diberi porsi dalam berita justru para pejabat-pejabat yang ada di
Jakarta yang sama sekali tidak ada di lapangan.
Dalam
sejarah juga kurang lebih sama. Isi buku sejarah lebih banyak menceritakan
tentang tokoh pemimpinnya daripada rakyat jelata yang juga ikut terlibat dalam
perjuangan itu. Nama tokoh penting itu tidak saja masuk dalam catatan sejarah,
tetapi bila perlu diabadikan dalam bentuk patung atau film, seperti film Janur Kuning saat perebutan kota
Jogjakarta.
Saat
ini, baik di pers maupun di penulisan sejarah, posisi wong cilik mendapat
tempat yang proporsional. Sehingga tidak heran banyak bermunculan buku-buku
yang bernuansa sejarah yang tidak menyangkut tokoh-tokoh penting. Sebab memang
adanya orang besar karena orang kecil.
Dalam
isi berita Peka, saya menempatkan surat pembaca sebagai pihak wong cilik
yang ikut menorehkan sejarah. Walau pada penerbitan pertama hanya berisi apresiasi
terhadap Peka dan ditulis dengan nama-nama yang samar, namun pada edisi-edisi
berikutnya, saya melihat banyak surat pembaca yang orisinil.
Menariknya,
ada surat pembaca itu menjadi inspirasi pihak redaksi untuk menjadikannnya
laput. Yaitu terkait perjokian skripsi yang terjadi di UMK.
Di
luar itu, surat pembaca banyak persoalan sarana fisik UMK. Persoalan parkir
kendaraan misalnya, dari 130 lebih jumlah surat pembaca yang dibuat mahasiswa,
delapan di antaranya tentang parkir kendaraan. Yang paling banyak justru
menyangkut tentang perpustakaan. Dari persoalan jumlah buku, jenis buku, minat
baca mahasiswa, kencan di perpustakaan, dan pelayanan petugasnya.
Surat
pembaca juga jadi curahan unek-unek ketika ada dosen yang tidak siap mengajar,
mahasiswa yang apatis, mahasiswa yang tidak suka berorganisasi, repotnya entri
Kartu Rencana Studi (KRS), sampai penyampaian informasi adanya jual beli nilai.
Ini jadi menarik karena kasus-kasus itu ada yang tidak dimuat dalam Laput
ataupun Lapsus.
Dan
dari surat pembaca juga sejarah mencatat bahwa periodeisasi jabatan rektor di
UMK yang semula empat tahun diperpanjang sekali menjadi tidak sepenuhnya
berlaku. Walau surat pembaca itu hanya singkat dan beberapa paragraf, tetapi
sejarah telah mencatat adanya peristiwa tersebut.
Harapan
Mengetahui
sejarah UMK yang demikian dan merasakan kemajuan yang ada saat ini, rasanya ada
satu hal yang tak boleh dilupakan, yaitu bersyukur. Agama mengajarkan jika kita
mau bersyukur, Tuhan berjanji akan menambah kenikmatan yang diberikan-Nya.
Bentuk
rasa syukur itu menurut saya UMK harus benar-benar menjadi bagian masyarakat
sekitarnya. Saya pribadi sangat berharap ada mahasiswa dan dosen yang mempunyai
kegelisahan seperti Muhammad Yunus saat mendapati orang-orang sekitar kampusnya
yang kondisinya miskin.
Kiranya
UMK bisa menjadi pusat perubahan sosial masyarakat yang ada di Karesidenan
Pati. Jika tidak bisa seluas itu cukuplah untuk wilayah Kudus. Jika selama ini
UMK dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik mampu memberantas buta aksara bagi
warga di pelosok-pelosok desa, saya sangat yakin UMK mampu memberantas yang
memang layak diberantas.
Menurut
saya saat ini, dari sekian persoalan sosial yang ada di masyarakat, satu hal
yang sangat mendesak adalah penyadaran berpolitik dalam memilih pemimpin.
Pemilihan umum yang semestinya menjadi gerbang emas bagi masyarakat untuk
perubahan politik termaknai hanya sebagai bagi-bagi uang menjelang coblosan. Pemahaman
ini terus terjadi. Baik untuk pemilihan pejabat tinggi maupun pejabat desa yang
secara serentak akan dilakukan besok (24 November2013). Pihak kampus yang masuk
kategori kelompok intelek perlu mengambil peran dalam persoalan ini.
Peran
ini menurut saya tidak terlalu berlebihan. Bahkan, jika melihat kondisi yang
ada justru kehadiran mahasiswa yang berlabel sebagai agen perubahan sangat
dibutuhkan. Sebab saat ini masyarakat tidak sepenuhnya percaya bahkan nyaris
kehilangan kepercayaan kepada politisi, pejabat dan penyelenggara pemerintahan
yang lain. Dalam posisi ini perguruan tinggi perlu tampil merengkuh hati
masyarakat demi kehidupan yang lebih baik. Jika ini berhasil, maka kebersamaan
bersama wong cilik ini akan menjadi
catatan sejarah dan kian melengkapi kemegahan fisik UMK. (*)
[1]UMK lahir pada
1980 sedangkan Peka baru terbit 2002. Sebelum UMK lahir di Kudus berdiri
Akademi Pimpinan Perusahaan (1963-1966), Fakultas Ekonomi Undip Cabang Kudus
(1966-1967), dan STE (1967-1980), (Majalah Beta, edisi X Tahun 2010).
[2]Hal sama sering kita saksikan di
media massa umum. Ketika ada kru atau jurnalisnya menikah, maka foto
pernikahannya dimuat di koran. Sebaliknya ketika ada anggota dari media itu
yang berkasus, jangankan fotonya, beritanya pun tak pernah ada.
[1]Catatan kecil
sebagai pengantar dalam Seminar Regional “Melihat Sejarah Universitas Muria
Kudus (UMK) dari Majalah Pena Kampus (Peka), UMK 23 November 2013.
[2]Peminat
sejarah.
Comments
Post a Comment