Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Mengacu pada Kota Cerdas (Smart City)

logo smart city
         
   Indonesia merupakan negara berkembang yang akan terus berbenah melalui pembangunan dari berbagai sektor. Pembangunan yang dilakukan hendaknya mengikuti (paling tidak mengadopsi) tujuan dari rumusan pembangunan keberlanjutan (sustainable development) yang telah disepakati oleh Negara-Negara maju di dunia[i]. Langkah tersebut sudah tercermin dari rencana pembangunan jangka menengah dan panjang Indonesia, seperti tertuang dalam Pengembangan Kota Cerdas Indonesia yang dipresentasikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)[ii].
Kemudian menjadi penting membuat perencanaan pembangunan di tingkat nasional, yang bisa diterjemahkan sesuai dengan pelaksanaan yang ada di daerah (sampai ke level kabupaten). Jangan sampai otonomi daerah menjadi dalih bagi pembangunan yang tidak sejalan dengan pusat. Akan menjadi berbahaya bila pembangunan tidak mempertimbangkan efisiensi, pengaruh lingkungan, juga keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan Negara yang akan mengalami masa bonus demografi pada 2020-2030[iii], jika pembangunan yang dilakukan tidak benar, maka akan muncul berbagai masalah di masa yang akan datang. Ledakan jumlah penduduk akan menyebabkan berbagai masalah baru muncul.
            Pertama, pembangunan wilayah yang tidak memperhatikan isu pertanian terkait tata guna lahan akan memunculkan masalah pangan di kemudian hari. Pangan menjadi sangat penting bagi Indonesia mengingat ada 250 juta jiwa yang harus dihidupi pada tahun 2013 dan akan terus naik. Sekarang kita bisa melihat bagaimana isu pangan banyak sekali dijadikan bahan pembicaraaan di seminar-seminar, forum diskusi, atau headline di berita koran cetak.
Pada sebuah artikel dalam majalah National Geographic Indonesia, Saya membaca bahwa pada masa yang akan datang, sebuah perang bukan lagi dipicu oleh gengsi wilayah, adu kekuatan militer, atau kecemasan ekonomi. Tetapi, kehidupan akan kembali seperti masa penjajahan Spanyol, Portugis dan Belanda : perang terjadi karena perebutan bahan makanan, rempah-rempah, serta hasil bumi lainnya. Itu bisa saja terjadi, mengingat di bumi ada 7,4 miliar manusia saat ini[iv], dan diproyeksikan pada tahun 2050 jumlah manusia akan membludak mencapai 9,7 miliar. Semua orang itu butuh makan, sedangkan lahan pertanian akan semakin menyempit.
Kedua, pembangunan kadang tidak menganggap isu lingkungan itu sangat penting. Akan ada yang beralasan bahwa ini sudah masuk porsi pertimbangan dalam pembangunan. Tetapi tidak pada porsi paling penting. Sektor ekonomilah yang sering kali menjadi pertimbangan no 1 dalam proses pembangunan. Jika ekonomi (pajak pendapatan, salah satunya) bisa memberi dampak besar bagi suatu wilayah, lantas mengapa tidak dilaksanakan? Toh, nanti kalau sudah punya banyak uang kita bisa membangun Sumber Daya Manusia dan memulihkan lingkungan yang rusak. Kita bisa restorasi hutan yang gundul, kita bisa olah lagi air yang tercemar dan masih banyak lagi rencana omong kosong yang akan dilakukan sebagai dalih bahwa pembangunan tidak akan merusak lingkungan.
Jika anda perlu bukti, maka akan saya paparkan beberapa; di Samarinda, Kalimantan Timur, bekas tambang batubara dibiarkan menganga begitu saja hingga mengakibatkan 8 anak-anak tercebur dan tewas[v], sedangkan pemilik tambak mengalami terus kerugian akibat hujan asam yang meracuni ikan mereka (lihat video)[vi]. Ribuan ikan di sungai mati karena tercemar air limbah[vii] yang dibuang sembarangan, puluhan tahun Jakarta dilanda banjir[viii] karena kesalahan strategi pembangunan yang dilakukan. Baru-baru ini, sebuah lokasi wisata pantai pulau merah Banyuwangi kena banjir lumpur akibat dari aktivitas pertambangan emas yang merusak lingkungan. Sontoloyo bukan ?
Dan lucunya, semua kerusakan yang terjadi tersebut mengatasnamakan pembangunan untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan yang diperoleh dari pajak perusahaan tersebut rencananya akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, membangun infrastruktur, menjalankan program pendidikan, dan masih banyak lagi. Sayangnya, penggundulan hutan yang seluas 3 lapangan sepak bola dalam semenit tersebut terjadi[ix], suhu udara kota Jakarta melewati ambang batas[x], warga sekitar PLTU Jepara pada terkena dampak abu batubara (video Greenpeace), banjir rob di Semarang-Demak yang menenggelamkan banyak sekali perkampungan, tambak, stasiun tua, dan gudang-gudang terus terjadi.
Bukan kemakmuran bagi masyarakat yang didapat dari pembangunan, tetapi yang Kita lihat kemiskinan tidak berkurang secara signifikan. Malah sekarang ini lebih banyak Kita jumpai anak-anak mengamen di jalanan lampu merah, orang gila berseliweran, dan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai. Sedangkan kawasan elit berkembang pesat sebagai pemenuhan hasrat investasi pada properti, rumah mewah, gudang, kondominium, dan apartemen. Saham perusahaan Indonesia banyak dikuasai asing, keuntungan yang didapat dari hasil berbisnis di tanah Indonesia labanya diangkut oleh londo-londo (sebutan untuk orang asing) itu. Inilah yang disebut yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin dalam lagunya Bang Haji Rhoma Irama.
Padahal, jika kita kembali pada khittah sebagai manusia, seharusnya Indonesia tidak seperti ini. Sebagai Negara yang mayoritas beragama Islam, kita tidak boleh memupuk harta benda sendiri sedangkan ada saudaramu yang kelaparan. Ada yang tahu tentang kisah seorang yang mencuri gara-gara dia tidak mampu makan? Ia terpaksa mencuri sedangkan ada umat muslim yang kaya di sekitarnya. Sahabat waktu itu menyalahkan umat muslim yang kaya. Sebagai muslim seharusnya tidak boleh menyakiti hewan atau tanaman, karena sangat keras pesan nabi untuk mencintai lingkungan. Sebuah hadist berbunyi “Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya (Imam Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479)”[xi]. Setelah melihat kerusakan yang terjadi, kita hanya bisa tersenyum kecut campur geleng-geleng kepala. Ternyata manusia memuja sesuatu yang semu, terlalu tamak, dan baru akan disadari pada suatu saat nanti. “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Ketiga, pembangunan seringkali mengabaikan faktor sosial yang ada di masyrakat. Sebagai contohnya, sebuah lokasi yang masih subur biasa ditanami padi, semangka, kacang ijo, atau tanaman palawija lainnya berada di kawasan strategis di pinggir jalan. Suatu ketika akan ada investor yang berminat untuk membangun mall, hotel, restoran, atau pabrik di sana. Dengan penawaran harga tanah yang cukup tinggi, akhirnya petani menjual sawahnya. Tanah yang dibeli lumayan luas hingga beberapa petani terkena. Tanpa disadari,,ternyata petani kesulitan mencari ganti sawah garapan yang dekat dengan rumahnya, yang bisa ditanami setiap tahun. Petani tersebut juga tidak bisa kerja di mall, hotel, atau pabrik karena dia hanya lulusan SD, jika pun dipekerjakan di sana paling hanya menjadi buruh kasar. Nah, inilah yang disebut dengan kegagalan pembangunan yang disebabkan tanpa adanya pertimbangan unsur sosial.
Lalu bagaimana merencanakan sebuah pembangunan yang tepat di abad 21 ini? Sebuah masa yang kita yakini sebagai zaman akhir; bumi semakin panas, polusi dan sampah menumpuk, beton-beton menyesaki ruang, serta kehidupan manusia yang semakin bebas berbuat apa saja.
Pembangunan wilayah yang mengacu pada kota cerdas (smart city) memiliki tujuan untuk memberikan efisiensi dan efektifitas kerja. Tujuan tersebut dicapai dengan bantuan alat yang disebut teknologi. Akan tetapi secanggih apapun teknologi tidak akan berarti apa-apa bila manusianya juga tidak cerdas dalam menggunakannya. Karena dalam pembangunan kota cerdas terdapat brainware (manusia) sebagai perencana, pelaksana, dan pengguna dari sistem yang dibangun.
Kota cerdas terbagi atas beberapa sub-sistem; smart economy, smart people, smart environment, smart mobility, smart government dan smart living[xii]. Keenam elemen tersebut saling terkait satu sama lain. Mereka membentuk jalinan yang saling mendukung dan saling bekerja sama, sehingga pembangunan berbasis kota cerdas bisa dilakukan secara bersamaan sejak dalam perancangan tanpa mengesampingkan elemen yang lainnya. Maka dari itu dalam perencanaannya butuh pakar yang benar-benar paham tentang keterkaitan antara aspek sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, pendidikan, dan teknologi.
Beberapa contoh kota cerdas di dunia yang menginspirasi dan selayaknya patut dicontoh adalah Vienna, New York, Paris, London, Tokyo, Copenhagen, Berlin, dan Barcelona. Namun Indonesia adalah Negara yang berada pada wilayah tropis, sehingga tidak semuanya konsep di beberapa Negara yang telah disebutkan di atas sepenuhnya cocok dengan karakter geografis Negara kita. Tetapi Singapura menjadi salah satu Negara tropis yang juga melakukan pembangunan dengan konsep smart city. Di Singapura beberapa gedung menjulang tinggi sedangkan pohon-pohon tetap rindang mengiasi. Bunga-bunga bermekaran warna-warni, moda transportasi saling terkoneksi.
Semoga saja pemimpin di daerah-daerah memahami bagaimana menyelesaikan permasalahan yang ada. Bukan menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah baru, akan tetapi menyelesaikan masalah dengan cara yang komprehensif, melihat semua aspek yang berhubungan untuk mendapatkan penyelesaian yang saling terkoneksi antar bidang, sehingga didapati kehidupan yang lebih baik.


Oleh Wahyu Dwi Pranata
CEO Kudus Smart City OpenLabs

[xi] https://abuabdilbarr.wordpress.com/2007/12/07/anjuran-islam-untuk-bercocok-tanam-2/
[xii] 2015. Green Computing. Putu Agus Eka Pratama

Comments