Makalah Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Daerah Rentan Banjir

Sistem Informasi Geografis---- Dedek iskaraja  201351064

BAB 1 PENDAHULUAN



Bencana banjir yangterjadi di Kabupaten Pati dan Kudus diduga akibat adanya sedimentasi Sungai Juwana, sehingga daya tampung sungai menurun akibatnya saat hujan turun terjadi luapan air sungai. Sungai Juwana merupakan sungai utama pada Daerah Aliran Sungai Juwana. Sungai Juwana yang berhulu di Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati merupakan bagian dari Wilayah Sungai Jatrun Seluna.Mengingat batas teknis sungai menembus batas administrasi maka pengelolaan harus terpadu antar Kabupaten yang dilewati. Konsep pengelolaan sumber daya air menyeluruh dan terpadu serta berwawasan lingkungan harus tetap menjadi prioritas utama di semua wilayah dengan bercirikan oner river one mangament.   Pengertianny adalah   satu   sunga harus   satu   pengelolaanya, walaupun sungai menembus batas administrasi kabupaten, sehingga dampak yang ditimbulkan akibat banjir tidak semakin luas dan dapat dikendalikan setiap tahunnya. Salah satu bagian dari upaya penanggulangan banjir adalah dengan melakukan analisis kerentanan banjir melalui pemetaan. Peta merupakan representasi grafis dari dunia nyata dan sangat baik dalam memperlihatkan   hubunga atau   relasi   yang   dimilki   oleh   unsur-unsurnya. Pemetaan daerah-daerah  yang memiliki tingkat bahaya banjir perlu dilakukanagar pemerintah dapat mengambil keputusan yang tepat sasaran pada daerah yang rentan  terhadap  banjir.  Dengan  pemetaan  masyarakat  juga  lebih  mengenali keadaan lingkungannya dan menjadi masukan bagi masyarakat untuk membuat rencana tindak terhadap banjir.Identifikasi kerentanan banjir dapat dilakukan dengan menggunakan fungsi-fungsi analisis   yang terdapat pada   Sistem Informasi Geografis. Fungsi analisis yang digunakan adalah metode tumpangsusun/overlay dimana dilakukan proses tumpang susun terhadap parameter-parameter banjir. Melalui SIG diharapkan akan mempermudah dalam pembuatan peta serta penyusunan basis data, sehingga dapat dipakai sebagai dasar menentukan kebijakan dan arah pembangunan dalam melihat peluang serta tantangan dalam menyusun strategi bagi pemerintah. Perangkat SIG diharapkan akan mempermudah penyajian informasi spasial khususnya yang terkait dengan penentuan tingkat kerentanan banjir serta dapat menganalisis dan memperoleh informasi baru dalam mengidentifikasi daerah – daerah yang sering menjadi sasaran banjir.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul: TINGKAT KERENTANAN BANJIR DENGAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAERAH ALIRAN SUNGAI JUWANA DI KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

 Mau tau judul skripsi di teknik informatika atau Sistem informasi??? KLIK Saya .

PERUMUSAN MASALAH


1.   Bagaimana bagihan kerentanan banjir di Juwana?

2.   Faktor  apakah  yang  paling  berpengaruh  terhadap  tingkat  kerentanan  pada daerah rentan banjir di daerah penelitian ?


TUJUAN PENELITIAN


1.   Mengetahui agihan kerentanan banjir di DASJuwana

2.   Mengetahui faktor yang paling berpengaruh pada tingkat kerentanan banjir pada daerah rentan banjir di daerah penelitian.

          MANFAAT PENELITIAN


1.   Memberikan informasi secara geografis tentang daerah-daerah rentan banjir di daerah penelitian
2.   Memberikan sumbangan ilmu kepada pembaca



TELAAH PUSTAKA


1.   Banjir


Banjir yang terjadi di DAS Juwana merupakan banjir limpasan yang disebabkan oleh luapan air Sungai Juwana. Luapan Sungai Juwana diakibatkan oleh kapasitas sungai yang tidak mampu lagi menampung air hujan karena pendangkalan.  Pendangkalan  yanterjadi  Sungai  Juwana  disebabkan  oleh endapan lumpur yang terbawa oleh air sungai. Pada saat musim hujan, intensitas curah hujan yang tinggi akan melebihi kapasitas sungai dan akan meluap dan menggenangi lahan yang berada di kanan kiri sungai.
Faktor  lain  yang  menyebabkan  banjir  pada  Sungai  Juwana  adalah degradasi lahan pada sempadan sungai. Daerah sempadan sungai yang seharusnya memiliki peranan penting untuk mempertahankan sungai   telah berubah fungsi menjadi lahan pemukiman. Bangunan-bangunan yang didirikan di daerah sempadan Sungai Juwana selain mempersempit lebar sungai juga akan mempengaruhi kondisi air sungai. Pembuangan limbah rumah tangga akan menyebabkan menurunnya kualitas air sungai dimana kondisi air sungai akan berubah warna dan berbau juga meningkatkan pendangkalan Sungai Juwana.

2.  Kerentanan Banjir


Kerentanan  (vulnerability)  merupakan  rangkaian  kondisi  yang menentukan suatu bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat menimbulkan bencana (disaster). Banjir menjadi bencana jika terjadi pada daerah yang rentan. Kerentanan banjir merupakan suatu kondisi yang menunjukkan mudah tidaknya suatu daerah terlanda dan tergenang banjir (Dibyosaputro,1988 dalam Kurnianto, 2010). Setiap daerah dengan kondisi fisik
yang berbeda akan memiliki tingkat kerentanan yang berbeda pula. Ada daerah yang sangat rentan terhadap banjir dan ada pula yang tidak rentan terhadap banjir. Tingkat kerentanan banjir dapat diketahui dengan memanfaatkan data dengan pendekatan bentuk lahan, iklim, hidrologi dan curah hujan. Dengan demikian, tingkat  kerentanan  banjir  pada  suatu  wilayah  dapat  diketahui  secara  tidak langsung dengan menggunakan pendekatan karakteristik lahan pada setiap satuan bentuk lahan yang ada.

Bagan peristiwa bencana banjir dapat dilihat pada model yang tercantum pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Bagan Peristiwa Bencana Banjir

Sumber : Anonim. 2005.

Bencana banjir pada umumnya diakibatkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi. Apabila peningkatan curah hujan tidak di imbangi dengan infiltrasi dan   air   larian   yan baik   maka   air   aka melebihi   kapasitas sehingga mengakibatkan limpasan. Dalam daur hidrologi masukan berupa curah hujan akan di distribusikan kedalam beberapa cara, yaitu air lolos (throughfall), aliran batang (steamfall), dan air hujan langsung ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi. Aliran batang dan air lolos erat kaitannya dengan penggunaan lahan sedangkan air larian dan air infiltrasi dipengaruhi oleh parameter kemiringan kemiringan lereng dan jenis tanah.

3. Curah Hujan


Presipitasi atau curah hujan merupakan faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS. Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfir bergerak ketempat yang lebih tinggi karena terdapat perbedaan tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat uap air lebih besar ketempat tekanan uap air lebih kecil. Uap air yang bergerak  ke  tempat  lebih  tinggi  (dengan  suhu  udara  menjadi  lebih  rendah) tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami kondisi penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi maka uap air tersebut akan berubah bentuk   menjadi   butiran-butira air   hujan.   Secar ringka da sederhana, terjadinya hujan terutama karena adanya perpindahan massa air basah ketempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Namun demikian mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama, dengan kata lain akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian berikut:
1.   Kenaikan massa uap air ketempat lebih tinggi sampai saatnya atsmosfer menjadi jenuh.
2.   Terjadinya kondensasi atas partikel-partikel uap air di atsmosfer

3.   Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya gravitasi

4  .  Infiltrasi Tanah


Infiltrasi  adalah  proses  aliraair  (umumnya berasadari  curah  hujan) masuk ke dalam tanah. Aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vetikal). Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi di batasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Pada sisi yang lain gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus ke atas, ke bawah dan ke arah horizontal

(lateral). Gaya kapiler tanah ini bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori relatif kecil. Pada tanah dengan pori-pori besar, gaya ini dapat di abaikan pengaruhnya dan air mengalir ke tanah yang lebih dalam oleh pengaruh gaya gravitasi.
Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor, antara lain tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembapan awal), kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan ke dalam seresah, dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Tanah remah akan memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar dari tanah liat. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil di bandingkan tanah dalam keadaan kering.    Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi penyebaran pori-pori yang pada gilirannya dapat mempengaruhi laju infiltrasi, kemampuan tanah dalam menampung air (kelempaban tanah), pertumbuhan tanaman, dan proses-proses bilogis dan hidrologis lainnya. Tekstur tanah biasanya mengacu pada jumlah fraksi tanah yang dikandungnya. Sedangkan kecenderungan butir-butir tanah yang membentuk gumpalan tanah atau menunjukkan keremahan tanah dalam hal ini menandakan struktur tanah. Struktur tanah dipengaruhi oleh struktur tanah,  lahan organik, tipe mineral serta kegiatan biologis.   Tekstur   tana juga   memempengaruhi   kecepata infiltras tanah, penetrasi dan kemampuan pengikatan air oleh tanah serta merupakan satu-satunya sifat fisik tanah yang tetap dan tidak mudah diubah oleh tangan manusia.

5 .   Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan berkaitan dengan proses intersepsi air hujan (rainfall interception loss) yaitu proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat, untuk kemudian diuapkan kembali ke atsmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Proses intersepsi terjadi selama berlangsungnya curah hujan dan setelah hujan berhenti sampai permukaan tajuk vegetasi menjadi kering kembali. Setiap kali air hujan jatuh pada penggunaan lahan yang memiliki vegetasi, sebagian air yang tidak mencapai permukaan tanah dan dengan demikian tidak berperan dalam membentuk air larian atau air tanah.
Air hujan yang jatuh diatas penggunaan lahan dengan vegetasi yang lebat untuk sementara akan ditampung oleh tajuk, batang, cabang vegetasi. Air hujan jatuh pada permukaan tajuk vegetasi akan mencapai permukaan tanah melalui dua proses mekanis, yaitu air lolos langsung (throughfall) dan aliran batang (steamflow). Air lolos jatuh berlangsung ke permukaan tanah melalui ruangan antar tajuk/daun atau menetes melaui daun, batang dan cabang. Sedangkan aliran batang adalah air hujan  yang dalam perjalannnya mencapai permukaan  tanah mengalir melalui batang vegetasi, sehingga berkurangnya air hujan yang sampai di permukaan tanah oleh adanya proses intersepsi cukup besar. Dari keseluruhan evapotranspirasi, besarnya intersepsi bervariasi antara 35-55%. Sebaliknya, pada penggunaan lahan yang tidak bervegetasi air hujan yang turun akan langsung menuju permukaan tanah untuk kemudian melalui tahap proses infiltrasi tanah dan menjadi air larian.
Secara teoristis, bila kapasitas infiltrasi tanah diketahui, volumen air larian dari suatu curah hujan dapat dihitung dengan cara mengurangi besarnya curah hujan dengan air infiltrasi ditambah genangan air oleh cekungan permukaan tanah (surface detention) dan air intersepsi. Laju infiltrasi ditentukan oleh:
1.   Jumlah air yang tersedia di permukaan tanah

2.   Sifat permukaan tanah

3.   Kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah

Dari ketiga unsur di atas, ketersediaan air (kelembapan tanah) adalah yang terpenting   karena   ia   aka menentukan   besarny tekana potensial   pada permukaan tanah. Pertumbuhan vegetasi memerlukan tingkat kelembapan tanah tertentu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kelembapan tanah pada tingkat tertentu dapat menentukan bentuk tata guna lahan. Keadaan tajuk penutup tanah yang rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah, dan dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem perakaran vegetasi dan seresah yang dihasilkannya dapat membantu menaikkan permeabilitas tanah, dan dengan demikian, meningkatkan laju infiltrasi.

6.    Kemiringan Lereng


Kemiringan Lereng adalah sudut rerata antara bidang datar dipermukaan bumi  terhadap  suatu  garis  atau  bidang miring  yang  ditarik  dari  titik  terendah sampai  titik  tertinggi  di  permukaan  bumi  pada  suatu  bentuk  lahan,  yang merupakan satu-kesatuan kemiringan lereng berpengaruh pada jumlah dan kecepatan limpasan permukaan, drainese permukaan, penggunaan lahan dan erosi. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju air larian, dan dengan demikian, mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit, dan bentuk-bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume air larian. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada daerah dengan cekungan-cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan air larian yang lebih kecil dibandingkan daerah DAS dengan kemiringan lereng lebih besar serta pola pengairan yang dirancang dengan baik. Dengan kata lain, sebagian  aliran  air  ditahan  dan  diperlambat  kecepatannysebelum  mencapai lokasi, sehingga kemungkinan terjadinya genangan atau banjir menjadi besar.

7 .   Penginderaan Jauh


Penginderaan Jauh (Remote Sensing) sering disingkat inderaja adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Data penginderaan jauh (citra) menggambarkan obyek di permukaan bumi relatif lengkap, dengan wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letak di permukaan bumi dalam liputan yang luas. Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu obyek, daerah, atau fenomena, hasil rekaman pantulan dan atau pancaran obyek oleh sensor penginderaan jauh, dapat berupa foto atau data digital (Purwadhi, 2001).
Penginderaan jauh digunakan untuk menganalisis data citra landsat yang digunakan pada penelitian ini. Análisis citra landsat dilakukan untuk mengidentifikasi   penggunalan  lahan   pada  daerah   penelitian.   Metod yang
dilakukan adalah mempelajari dan melakukan interpretasi/penafsiran dengan melihat perbedaan warna untuk pengenalan jenis penggunaan lahan. Setiap warna dalam  citra satelit  memberikan  makna  tertentu.  Warna hijau  mengidentifikasi adanya vegetasi dan makin hijau warnanya menunjukkan bahwa vegetasinya semakin lebat. Warna biru menunjukkan kenampakan air dan semakin biru atau biru kehitaman menunjukan bahwa wilayah tersebut berarti tergenang. Bila warna biru ada kesan petak-petak yang ukurannya lebih besar dan lokasina dekat dengan garis pantai berarti areal tersebut adalah areal tambak. Unsur pola dan site/lokasi dapat digunakan untuk mengenali jenis penggunaan lahan dan tanaman/vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut. Sebagai contoh, bila ada kenampakan hijau pada wilayah berpetak pada dataran rendah hal ini mengidentifikasikan adanya lahan sawah yang ditanami padi. Warna hijau pada daerah berpola aliran radial sentrifugal menunjukkan adanya vegetasi/tanaman tahunan atau hutan yang tumbuh di daerah berlereng (berbukit dan bergunung) .

 8.    Sistem SatelitLandsat 7 ETM+

Citra Landsat TM dan Landsat ETM+ memiliki ukuran piksel sebesar 30 meter. Citra Landsat ETM+ memiliki band pankromatik yang mampu menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi 15 meter. Hal ini memungkinkan untuk menghasilkan citra multispektral pankromatik yang dipertajam (citra gabungan pankromatik dan multispektral dengan resolusi spektral 7 band dan resolusi spasial 30 meter) tanpa merektifikasi citra yang satu ke citra lainnya. Hal ini disebabkan citra pankromatik dan multispektral direkam degan sensor yang sama, sehingga bisa di register secara otomatis. Citra Landsat 7 juga memiliki band thermal yang dipertajam (Prahasta,2008).
Kelebihan  citra  landsat  adalah  variasi  band  yang  memungkinkan  citra untuk diolah menjadi citra komposit. Komposit yang digunakan untuk identifikasi penggunaan lahan adalah komposit 453, untuk identifikasi vegetasi dan pertanian digunakan band komposit 432, dan untuk identifikasi hidrologi digunakan band kompsit 321. Pada penelitian ini komposit citra landsat yang digunakan adalah
komposit 453 yang berguna untuk interpretasi penggunaan lahan. Penggunaan kompsit 453 untuk identifikasi penggunaan lahan dikarenakan band 4 berguna untuk membedakan vegetasi dan tanah, tanah dengan air, menggambarkan badan air, membantu mengidentifikasi tanah pertanian, band 5 menentukan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kelembapan tanah, band 3 dapat digunakan untuk membedakan vegetasi dan bukan vegetasi. (Lillesand dan Kiefer,1990)


PENELITIAN SEBELUMNYA


Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan studi banjir adalah sebagai berikut:
Miftakul Huda (2002) dalam penelitiannya yang berjudul Aplikasi Foto Udara   Pankromati Hitam   Putih   dan   Siste Informasi   Geografis   dalam penentuan Kerentanan Banjir Kota di Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Tujuan penelitian ini adalah aplikasi foto udara pankromatik hitam putih dalam menyadap informasi parameter fisik lahan yang dapat mempengaruhi kerentanan banjir kota dengan Sistem Infromasi Geografis serta menghitung debit banjir tiap- tiap lahan. Metode yang digunakan adalah metode tumpangsusun/overlay pada tiap-tiap parameter melalui proses skoring. Hasil penelitian berupa Peta Kerentanan Banjir Kota Kecamatan Tanahabang Jakarta Pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peta kerentanan banjir kota terbagi menjadi lima kelas kerentanan. Pada penelitian ini daerah sangat rentan banjir memilki luas 293,83
Ha, berada pada daerah dengan kemiringan 0-3% dengan kerapatan saluran drainese jarang seperti pada daerah Kelurahan Kampung Bali. Daerah tidak rentan banjir berada pada daerah yang tinggi dengan kondisi fisik geografi relief berombak dengan kerapatan saluran drainese yang rapat.
Eko Kustiyanto, (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Aplikasi Sistem  Informasi Geografis  Untuk  Zonasi  Tingkat  Kerentanan  Banjir  :  Studi Kasus Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah pemanfaatan  Sistem  Informasi  Geografi  untuk  pembuatan  zonasi  kerentanan banjir dan mengetahui agihan atau sebaran spasial wilayah-wilayah rentan banjir. Metode   analisis   yan digunaka adalah   metode   tumpaangsusun   terhadap parameter  kerentanan  banjir.  Hasil  analisis  berupa  Peta  Kerentanan  Banjir

Kabupaten  Purworejo  mengelompokkan  kerentanan  banjir  ke  dalam  4  kelas; sangat rentan, rentan, cukup rentan, dan tidak rentan. Kelas dengan kerentanan banjir sangat berada dibagian tengah dan sempadan sungai dengan luas 254,452 km2 atau 24,355 % dari wilayah daerah penelitian.
Pertemuan  ilmiah tahunan MAPIN XIV yang bertempat di Surabaya pada bulan september 2005 membahas Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”. Salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah analisis genangan air hujan di kawasan delta dengan menggunakan sistem informasi geografis. Daerah penelitian adalah wilayah Sidoarjo yang merupakan sebuah delta yang diapit oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Surabaya dan Sungai PorongPenelitian  ini  menggunakan  metode  rasional  untuk  menghitung debit maksimum dengan rumus QMaks=CIA/360 m3/detik. Citra Lansat ETM 7 diolah menjadi klasifikasi tutupan lahan dan selanjutnya diubah menjadi data vektor. SIG digunakan untuk menumpangsusun ketiga data vektor (tutupan lahan,tektur tanah dan kelerengan), guna mendapatkan harga koefisien limpasan (C). Dengan menggunakan distribusi Gumbel dan rumus Mononobe data curah hujan dari 28 stasiun pengamat hujan selama 10 tahun (1994-2002) diolah untuk mendapatkan nilai Intensitas maksimum (I). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah rawan genangan terletak pada daerah yang lebih rendah dengan kemiringan lereng yang cukup bervariasi yaitu 0-0,25% dan 1,25-1,5%, daerah tutupan lahan berupa pemukiman, sawah irigasi, tambak, daerah dengan tekstur tanah lempung, dan daerah dengan curah hujan yang berkisar antara 1700-2000mm pertahun.
Agus Joko Protomo (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kerentanan Banjirdi Daerah AliranSungai Sengkarang Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Dengan Bantuan Sistem Informasi Geografis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui agihan dan karakterik kerentanan banjir di DAS Sengkarang. Dalam peneltian ini analisis kerentanan banjir dilakukan dengan menggunakan metode overlay pada parameter-parameter banjir. Parameter yang digunaka adalah   bentuklahan,   penggunaa lahan,   kemiringa lereng   dan
Infiltrasi tanah. Hasil penelitian menunjukan bahwa DAS sengkarang memiliki tingkat kerentanan banjir sampai sangat rentan cukup luas yaitu sebesar 42,79% dari luas DAS. Titik-titik kerentanan banjir sangat rentan berada pada daerah sekitar pantai, meander sungai, asosiasi tekuk lereng dan meander, asosiasi tekuk sungai dan pertemuan sungai, pertemuan dua sungai besar dan daerah cekungan.


KERANGKA PENELITIAN


Laju dan volume air larian suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan.. Pada daerah dengan intensitas curah hujan tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda cukup besar dibandingkan hujan yang kurang intensif. Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Pada hujan dengan intensitas yang sama dan dengan waktu yang lebih lama akan menghasilkan air larian yang besar. Umumnya laju air larian dan volume terbesar terjadi ketika seluruh DAS tersebut ikut berperan. Dengan kata lain hujan turun merata di seluruh wilayah DAS yang bersangkutan.
Penggunaan lahan berpengaruh pada resapan curah hujan yang jatuh ke permukaa tanah.   Penggunaa laha merupaka parameter   pertama   yang merespon  curah  hujan  ke  dalam  wilayah  DAS  dan  memberikan  pengaruh terhadap besar kecilnya infiltrasi, air larian, dan aliran sungai. Air hujan yang jatuh  di  atas  permukaan  vegetasi  yang  lebat  tidak  langsung  mengalir  ke permukaan tanah. Untuk sementara air tersebut akan ditampung oleh tajuk, batang dan cabang vegetasi. Intersepsi air hujan (rainfall interception loss) adalah proses ketika air hujan jatuh ke permukaan vegetasi, tertahan untuk beberapa saat, untuk kemudian diuapkan kembali ke atsmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Besarnya infiltrasi pengaruhi oleh jenis, kerapatan dan tipe vegetasi yang terdapat pada penggunaan lahan, sehingga semakin kecil penutupan tajuk vegetasi pada penggunaan lahan semakin besar air lolos yang akan sampai ke permukaan tanah dan dengan demikian, menurunkan jumlah air terintersepsi yang pada akhirnya meningkatkan debit air larian.
Proses infiltrasi tanah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain tekstur dan struktur tanah. Tekstur dan struktur tanah menentukan penyebaran pori-pori tanah yang berpengaruh pada laju infiltrasi dan kemampuan tanah dalam menampung air. Besarnya laju infiltrasi pada permukaan tanah tidak bervegetasi tidak akan pernah melebihi laju intensitas curah hujan. Untuk wilayah berhutan besarnya laju infiltrasi tidak akan pernah melebihi laju intensitas curah hujan efektif. Jika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi maka akan terjadi genangan air diatas permukaan tanah dan aliran permukaan.
Kemiringan lereng berpengaruh pada jumlah dan kecepatan limpasan permukaan, drainese permukaan, penggunaan lahan dan erosi. Semakin besar kemiringan  lereng  suatu  DAS,  semakin  cepat  laju  air  larian,  dan  dengan demikian, mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit, dan bentuk-bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume air larian. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada daerah dengan cekungan- cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan air larian yang lebih kecil dibandingkan daerah DAS dengan kemiringan lereng lebih besar serta pola pengairan yang dirancang dengan baik. Dengan kata lain, sebagian aliran air ditahan dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai lokasi, sehingga kemungkinan terjadinya genangan atau banjir menjadi besar.

INI ada tema skripsi tentang GIS : Klik Saya...
Analisis kerentanan banjir dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis. Data-data yang digunakan diproses dengan menggunakan fungsi analisis overlay. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa peta. Data tersebut merupakan hasil pengharkatan pada masing-masing parameter kerentanan  banjisebelum  dilakukan  proses  overlay.  Hasil  pengolahan  data berupa data kerentanan banjir secara kuantitatif dalam bentuk skor kerentanan banjir  yang  di  persentasikan  secara  spasial  ke  dalam  bentuk  peta  kerentanan banjir.


DATA DAN METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dilengkapi dengan survei lapangan. Tahapan dalam penelitian ini adalah
1.   Studi pustaka dan penentuan daerah Penelitian

Pemlilihan  daerah  penelitian  dilakukan  untuk  mengetahui  gambaran umum mengenai daerah yang akan diteliti. Alasan pemilihan DAS Juwana sebagai daerah penelitian adalah:
   DAS Juwana merupakan daerah sasaran banjir yang terjadi secara periodik setiap tahunnya
   Tersedianya data baik berupa data spasial maupun deskripstif mengenai gambaran umum daerah penelitian
2.   Pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah data hasil wawancara dengan penduduk di lokasi kerentanan banjir. Data wawancara penduduk digunakan sebagai kajian risiko bencana banjir berbasis masyarakat dan untuk memperkuat hasil analisis kuantitatif dalam penelitian ini.  Data-data yang diperlukan meliputi; periode ulang, lama genangan, kettinggian genangan.
Data sekunder yang digunakan adalah:

a Data curah hujan time series

b.   Peta Kemampuan Tanah DAS Juwana

c Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000






3.   Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:   Seperangkat komputer untuk pengolahan data   Software ArcGIS 9.3
   Software ENVI 4.3


 
Printe
   Global Positioning System (GPS)   Kamera Digital
4.   Pengolahan dan analisis data

Pengolahadata  dilakukan  dengan  pembuatan  geodatabase  dan Sistem Informasi Geografis. Pembangunan geodatabse adalah pembangunan basis data yang terkoneksi dengan system informasi geospasial. Pada pembangunan basis data ini dilakukan pengisian atribut untuk setiap  fitur (dapat berupa fitur titik, garis dan area) pada setiap unsure sesuai dengan layer yang berkaitan. Atribut setiap fitur tersebut disimpan dalam bentuk table database digital. Pembuatan Sistem Informasi Geografis Pada tahap ini dibangun  suatu  koneksi  (link)  antara  basis  data  yanberformat  tekstual dengan data spasial yang bersesuaian secara digital dengan software arcgis, sehingga mudah di akses dan direvisi apabila terjadi perubahan
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kuantitatif dengan menggunakan fungsi analisis tumpangsusun/overlay. Overlay dilakukan pada peta curah hujan, kemiringan lereng, peta infiltrasi tanah dan peta penggunaan lahan yang merupakan parameter kerentanan banjir yang digunakan dalam penelitian ini.


Tabel 1.1 Klasifikasi Curah Hujan


No
Curah Hujan (mm/th)
Harkat
1
> 3000
5
2
2500 – 3000
4
3
2000 – 2500
3
4
1500 – 2000
2
5
<1500
1
Sumber : Darmawijaya (1980) dengan modifikasi





Tabel 1.2 Klasifikasi Infiltrasi Tanah


No
Infiltrasi
Harkat
1
Lambat
5
2
Agak Lambat
4
3
Sedang
3
4
Agak Cepat
2
5
Cepat
1
Sumber : Gunawan (1991) dalam Suprojo (1993)


Tabel 1.3 Klasifikasi Kemiringan Lereng


No
Kemiringan Lereng (%)
Harkat
1
0 – 2 (Datar)
5
2
3 – 8 (Landai)
4
3
9 – 15 (Miring)
3
4
16 – 25 (Curam)
2
5
> 25 (Terjal)
1
Sumber : Zuldam (1979), CSR/FAO dan Staff (1983) dalam Anonim (2005)


Tabel 1.4 Klasifikasi Penggunaan Lahan


No
Penggunaan Lahan
Harkat
1
Sungai, waduk, rawa
5
2
Permukiman, kebun campur, tanaman

pekarangan
4
3
Pertanian, sawah, tegalan
3
4
Hutan tidak rapat, perkebunan, semak
2
5
Hutan rapat , Sawah Tadah Hujan
1
Sumber : Meijerink (1970) dalam Eko Kustiyanto (2004) dengan modifikasi





SRB = CH + IT + KL + PL




 
Metode aritmatika yang digunakan pada proses overlay dapat berupa penambahan,   pengkalian,   dan   perpangkatan.   Untuk   pembuata peta Kerentanan Banjir metode aritmatika yang digunakan pada proses overlay adalah metode penjumlahan skor di setiap parameter-parameter yang digunakan. Formula yang digunakan dalam proses overlay dengan menggunakan metode aritmatika adalah :


(Rumus 1)



Keterangan :

SRB    : Skor Rawan Banjir

CH      : Curah Hujan

IT        : Infiltrasi Tanah

KL      : Kemiringan Lereng

PL       : Penggunaan Lahan


Tujuan Pembuatan nilai interval kelas kerentanan banjir setiap kelas tingkat kerentanan banjir adalah untuk membedakan kelas kerentanan banjir yang satu dengan yang lainnya menggunakan nilai range kelas kerentanan banjir. Kerentanan Banjir ini terbagi menjadi 4 kelas tingkat kerentanan, yaitu sangat rentan, rentan, cukup rentan, dan tidak rentan. Nilai interval ditentukan dengan pendekatan relatif  yaitu dengacara melihat nilai maksimum dan minimum di setiap satuan pemetaan. Interval diperoleh dari selisih antara skor maksimum dengan skor minimum yang berbanding terbalik dengan jumlah kelas yang dapat di formulasikan sebagai berikut :




I = R / N

(Rumus 2)




Keterangan :

I     : Interval

R    : Selisih nilai maksimum – nilai minimum

N    : Jumlah Kelas



Setelah didapat hasil klasifikasi kelas kerentanan banjir dilakukan analisis untuk melihat variabel apa yang paling berpengaruh signifikan terhadap kerentanan banjir pada daerah rentan banjir. Analisis dilakukan dengan metode analisis regresi  liniear berganda. Analisis liniear berganda digunakan untuk mengukur pengaruh antara lebih dari satu variabel prediktor (varieable bebas) terhadap variabel terikat. Dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel yaitu curah hujan sebagai variabel bebas kesatu, infiltrasi tanah sebagai  variabel  bebas  kedua,  kemiringan  lereng  sebagai  variabel  bebas
ketiga, dan penggunaan lahan sebagai variabel bebas keempat.

Y = a + b1X1 + b2X2 + +bnXn


(Rumus 3)


Y        = Variabel Terikat a        = Konstanta
b1.b = Koefisien Regresi


X,X2  = Variable Bebas (Curah Hujan, Infiltrasi Tanah, Kemiringan

Lereng, Penggunaan Lahan)


5.   Hasil Penelitian

Tahap akhir dari penelitian ini adalah pembuatan Peta Kerentanan Banjir di  DAJuwana Kabupaten Pati  dan  Laporan  penelitian  berjudul  : Tingkat Kerentanan Banjir Dengan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di DAS Juwana Kabupaten Pati Jawa Tengah.

Comments