Sistem Informasi Geografis---- Dedek iskaraja 201351064
BAB 1 PENDAHULUAN
PERUMUSAN MASALAH
TUJUAN PENELITIAN
MANFAAT PENELITIAN
TELAAH PUSTAKA
1. Banjir
2. Kerentanan Banjir
3. Curah Hujan
4 . Infiltrasi Tanah
5 . Penggunaan Lahan
6. Kemiringan Lereng
7 . Penginderaan Jauh
PENELITIAN SEBELUMNYA
KERANGKA PENELITIAN
DATA DAN METODE
PENELITIAN
DAS Juwana merupakan daerah sasaran banjir yang terjadi
secara periodik setiap
tahunnya
Tersedianya data baik berupa data spasial maupun deskripstif mengenai
gambaran umum daerah penelitian
Software ENVI 4.3
Global Positioning System (GPS)
Kamera Digital
Tabel 1.1 Klasifikasi
Curah Hujan
Tabel 1.2 Klasifikasi
Infiltrasi Tanah
Tabel 1.3 Klasifikasi
Kemiringan Lereng
Tabel 1.4 Klasifikasi
Penggunaan Lahan
Keterangan
:
I = R
/ N
BAB 1 PENDAHULUAN
Bencana banjir yangterjadi di Kabupaten Pati dan Kudus diduga akibat adanya sedimentasi Sungai Juwana,
sehingga daya tampung
sungai menurun akibatnya saat hujan
turun terjadi luapan air
sungai. Sungai Juwana merupakan
sungai utama pada Daerah Aliran Sungai Juwana. Sungai Juwana yang
berhulu di Kabupaten Kudus dan Kabupaten
Pati merupakan bagian dari Wilayah Sungai Jatrun Seluna.Mengingat batas
teknis sungai
menembus batas administrasi maka
pengelolaan harus terpadu antar Kabupaten yang dilewati. Konsep pengelolaan sumber daya air menyeluruh dan terpadu serta berwawasan lingkungan harus
tetap menjadi prioritas utama di semua
wilayah dengan
bercirikan oner
river one mangament.
Pengertiannya adalah
satu sungai harus
satu pengelolaanya,
walaupun sungai menembus batas administrasi kabupaten, sehingga dampak yang
ditimbulkan
akibat banjir tidak
semakin luas dan dapat dikendalikan setiap
tahunnya. Salah
satu bagian dari upaya
penanggulangan banjir
adalah dengan melakukan analisis kerentanan
banjir melalui pemetaan. Peta merupakan representasi grafis dari dunia nyata dan sangat baik dalam memperlihatkan
hubungan atau relasi yang dimilki oleh unsur-unsurnya. Pemetaan daerah-daerah yang memiliki tingkat bahaya banjir perlu dilakukanagar pemerintah dapat mengambil keputusan yang
tepat sasaran pada daerah yang rentan terhadap
banjir.
Dengan
pemetaan
masyarakat juga lebih mengenali
keadaan lingkungannya dan menjadi masukan
bagi masyarakat untuk membuat rencana tindak terhadap banjir.Identifikasi kerentanan banjir dapat dilakukan dengan menggunakan
fungsi-fungsi analisis yang terdapat pada Sistem Informasi Geografis. Fungsi
analisis yang digunakan adalah metode tumpangsusun/overlay
dimana dilakukan proses tumpang
susun terhadap parameter-parameter banjir. Melalui SIG diharapkan akan mempermudah dalam pembuatan peta serta penyusunan basis
data, sehingga dapat dipakai sebagai dasar menentukan
kebijakan dan arah pembangunan dalam melihat peluang
serta tantangan dalam menyusun strategi bagi pemerintah. Perangkat SIG diharapkan akan mempermudah penyajian informasi spasial khususnya yang
terkait dengan penentuan tingkat kerentanan banjir serta
dapat menganalisis dan memperoleh informasi baru dalam
mengidentifikasi daerah –
daerah yang sering menjadi
sasaran banjir.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul: “TINGKAT KERENTANAN BANJIR DENGAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAERAH ALIRAN SUNGAI JUWANA
DI
KABUPATEN PATI JAWA TENGAH”
Mau tau judul skripsi di teknik informatika atau Sistem informasi??? KLIK Saya .
PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bagihan kerentanan
banjir di Juwana?
2. Faktor
apakah yang paling
berpengaruh
terhadap tingkat
kerentanan
pada
daerah rentan banjir
di daerah penelitian ?
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui
agihan
kerentanan banjir di DASJuwana
2. Mengetahui faktor yang paling berpengaruh pada tingkat kerentanan banjir
pada daerah rentan
banjir di daerah penelitian.
MANFAAT PENELITIAN
1. Memberikan informasi secara geografis tentang daerah-daerah rentan banjir di daerah penelitian
2. Memberikan sumbangan ilmu kepada pembaca
TELAAH PUSTAKA
1. Banjir
Banjir yang terjadi di DAS Juwana merupakan banjir limpasan yang
disebabkan oleh luapan air Sungai Juwana. Luapan Sungai Juwana diakibatkan oleh kapasitas sungai yang
tidak
mampu lagi menampung air hujan karena
pendangkalan.
Pendangkalan yang terjadi
Sungai
Juwana
disebabkan
oleh
endapan lumpur yang terbawa oleh air sungai. Pada saat musim hujan, intensitas
curah hujan yang tinggi akan melebihi kapasitas sungai dan akan meluap dan menggenangi lahan yang
berada di kanan
kiri sungai.
Faktor
lain
yang menyebabkan
banjir
pada
Sungai Juwana adalah degradasi lahan pada sempadan sungai. Daerah sempadan sungai yang
seharusnya
memiliki peranan penting untuk mempertahankan sungai
telah berubah fungsi menjadi lahan pemukiman. Bangunan-bangunan yang
didirikan di daerah
sempadan Sungai Juwana
selain mempersempit lebar sungai juga akan mempengaruhi kondisi air sungai. Pembuangan limbah
rumah tangga akan
menyebabkan menurunnya kualitas
air sungai dimana
kondisi air sungai akan
berubah warna dan
berbau juga meningkatkan pendangkalan Sungai
Juwana.
2. Kerentanan Banjir
Kerentanan
(vulnerability) merupakan
rangkaian
kondisi
yang menentukan
suatu bahaya (baik bahaya
alam maupun bahaya
buatan) yang terjadi
akan dapat menimbulkan bencana (disaster).
Banjir menjadi bencana jika terjadi
pada daerah yang rentan. Kerentanan banjir merupakan suatu kondisi yang menunjukkan mudah tidaknya suatu daerah terlanda dan tergenang banjir
(Dibyosaputro,1988 dalam Kurnianto, 2010). Setiap daerah dengan kondisi
fisik
yang berbeda akan memiliki tingkat kerentanan yang berbeda pula. Ada daerah
yang sangat rentan
terhadap
banjir dan ada pula yang tidak rentan terhadap banjir. Tingkat kerentanan
banjir
dapat diketahui dengan
memanfaatkan data dengan
pendekatan bentuk lahan, iklim, hidrologi dan curah hujan. Dengan demikian, tingkat
kerentanan
banjir
pada
suatu wilayah
dapat
diketahui secara tidak
langsung dengan menggunakan pendekatan karakteristik lahan pada setiap satuan
bentuk lahan yang ada.
Bagan peristiwa bencana banjir dapat dilihat pada model yang tercantum pada Gambar
1.1.
Gambar 1.1
Bagan Peristiwa
Bencana Banjir
Sumber : Anonim. 2005.
Bencana
banjir pada
umumnya diakibatkan oleh intensitas curah hujan yang
tinggi. Apabila peningkatan curah hujan tidak di imbangi dengan infiltrasi
dan
air larian yang baik maka
air akan melebihi
kapasitas, sehingga
mengakibatkan limpasan. Dalam daur hidrologi masukan berupa
curah hujan
akan
di distribusikan kedalam beberapa cara, yaitu air lolos (throughfall), aliran batang (steamfall), dan air hujan langsung ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi
menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi. Aliran batang
dan
air lolos erat kaitannya dengan penggunaan lahan
sedangkan
air larian dan air
infiltrasi dipengaruhi oleh parameter kemiringan
kemiringan
lereng dan jenis tanah.
3. Curah Hujan
Presipitasi atau curah hujan merupakan faktor utama yang mengendalikan
berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS. Proses terjadinya
presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfir bergerak ketempat yang lebih tinggi karena
terdapat perbedaan tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat uap air
lebih besar ketempat tekanan uap air lebih
kecil. Uap air yang
bergerak
ke tempat
lebih
tinggi
(dengan
suhu
udara
menjadi lebih
rendah)
tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami kondisi penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air
hujan. Secara ringkas dan sederhana,
terjadinya hujan terutama
karena adanya perpindahan massa air basah ketempat yang
lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat
yang berbeda ketinggiannya. Namun demikian mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama, dengan kata lain akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian
berikut:
1.
Kenaikan massa uap air ketempat lebih tinggi sampai saatnya atsmosfer
menjadi jenuh.
2. Terjadinya kondensasi
atas partikel-partikel uap
air
di atsmosfer
3.
Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan)
karena gaya gravitasi
4 . Infiltrasi Tanah
Infiltrasi adalah proses
aliran air (umumnya berasal dari
curah hujan) masuk
ke dalam tanah. Aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vetikal).
Laju air
infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi di batasi
oleh besarnya
diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Pada sisi yang
lain gaya kapiler bersifat
mengalirkan air tersebut tegak lurus
ke atas, ke bawah dan ke arah horizontal
(lateral). Gaya kapiler tanah ini bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori relatif
kecil. Pada tanah dengan pori-pori besar, gaya
ini dapat di abaikan pengaruhnya dan
air mengalir ke tanah yang lebih dalam
oleh
pengaruh gaya gravitasi.
Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor, antara lain tekstur dan struktur tanah, persediaan air
awal (kelembapan awal),
kegiatan biologi dan unsur
organik, jenis dan ke dalam seresah, dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup
tanah lainnya. Tanah remah akan memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar dari
tanah liat. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil di bandingkan
tanah dalam keadaan kering.
Tekstur
dan struktur tanah mempengaruhi penyebaran pori-pori yang
pada gilirannya dapat mempengaruhi
laju infiltrasi, kemampuan
tanah dalam menampung air
(kelempaban tanah), pertumbuhan tanaman,
dan
proses-proses bilogis dan
hidrologis lainnya. Tekstur
tanah biasanya mengacu pada jumlah fraksi tanah yang dikandungnya. Sedangkan
kecenderungan butir-butir tanah yang
membentuk gumpalan tanah atau menunjukkan keremahan tanah dalam hal ini
menandakan struktur
tanah. Struktur tanah dipengaruhi oleh struktur tanah, lahan organik, tipe mineral serta kegiatan biologis.
Tekstur tanah juga memempengaruhi kecepatan infiltrasi tanah,
penetrasi dan
kemampuan pengikatan air oleh
tanah serta merupakan satu-satunya
sifat fisik tanah yang tetap
dan tidak mudah diubah oleh tangan manusia.
5 . Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan berkaitan dengan proses intersepsi air
hujan
(rainfall interception loss) yaitu proses ketika air hujan jatuh pada
permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat, untuk kemudian
diuapkan kembali ke atsmosfer atau
diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Proses
intersepsi terjadi selama berlangsungnya curah hujan dan setelah hujan berhenti sampai permukaan tajuk
vegetasi menjadi kering kembali. Setiap kali air hujan jatuh pada penggunaan
lahan yang
memiliki vegetasi, sebagian air yang tidak mencapai permukaan tanah dan
dengan
demikian tidak berperan dalam
membentuk
air larian atau air
tanah.
Air hujan yang jatuh diatas penggunaan lahan dengan vegetasi yang
lebat
untuk sementara akan ditampung oleh tajuk, batang, cabang vegetasi. Air hujan jatuh pada permukaan tajuk vegetasi akan mencapai permukaan tanah melalui dua proses
mekanis, yaitu air
lolos langsung (throughfall) dan
aliran batang
(steamflow).
Air lolos jatuh berlangsung ke permukaan tanah melalui ruangan
antar tajuk/daun atau menetes melaui daun, batang
dan cabang. Sedangkan aliran batang adalah air hujan yang dalam perjalannnya mencapai permukaan tanah
mengalir melalui batang vegetasi, sehingga berkurangnya air hujan yang sampai
di permukaan tanah oleh adanya proses intersepsi cukup besar. Dari keseluruhan evapotranspirasi, besarnya intersepsi bervariasi antara 35-55%. Sebaliknya, pada
penggunaan lahan yang tidak bervegetasi air hujan yang
turun akan langsung
menuju permukaan tanah untuk kemudian melalui tahap proses infiltrasi tanah dan
menjadi air larian.
Secara teoristis, bila kapasitas infiltrasi tanah diketahui, volumen air larian
dari suatu curah hujan dapat dihitung
dengan cara
mengurangi besarnya curah
hujan dengan air infiltrasi ditambah genangan air oleh
cekungan permukaan
tanah (surface detention)
dan
air intersepsi. Laju infiltrasi ditentukan oleh:
1. Jumlah air yang tersedia di permukaan tanah
2. Sifat permukaan tanah
3. Kemampuan tanah untuk mengosongkan
air di atas permukaan
tanah
Dari ketiga unsur di atas, ketersediaan air
(kelembapan tanah) adalah yang
terpenting karena ia
akan menentukan besarnya tekanan potensial pada
permukaan tanah. Pertumbuhan vegetasi memerlukan tingkat kelembapan tanah
tertentu. Oleh karena
itu
dapat dikatakan bahwa kelembapan tanah pada tingkat tertentu dapat menentukan
bentuk tata guna
lahan. Keadaan tajuk penutup tanah
yang rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah,
dan
dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem perakaran vegetasi dan seresah yang
dihasilkannya dapat membantu menaikkan
permeabilitas
tanah, dan dengan demikian,
meningkatkan laju infiltrasi.
6. Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng adalah sudut rerata antara bidang datar dipermukaan
bumi terhadap suatu garis atau
bidang miring
yang ditarik
dari titik terendah sampai
titik tertinggi
di
permukaan
bumi
pada
suatu
bentuk lahan,
yang merupakan satu-kesatuan kemiringan lereng berpengaruh pada jumlah dan
kecepatan limpasan permukaan, drainese permukaan, penggunaan lahan dan erosi.
Semakin besar kemiringan lereng
suatu DAS, semakin cepat laju air larian, dan
dengan demikian,
mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan.
Bentuk
topografi
seperti kemiringan lereng, keadaan
parit,
dan bentuk-bentuk
cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume air
larian. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada daerah dengan
cekungan-cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan
air
larian yang
lebih kecil dibandingkan daerah DAS dengan kemiringan lereng
lebih besar serta pola pengairan yang dirancang dengan baik. Dengan kata lain,
sebagian aliran
air
ditahan
dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai lokasi, sehingga kemungkinan
terjadinya genangan atau
banjir menjadi besar.
7 . Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh (Remote Sensing) sering
disingkat inderaja adalah ilmu
dan
seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan obyek,
daerah, atau
fenomena yang
dikaji. Data penginderaan jauh (citra) menggambarkan
obyek di permukaan bumi
relatif lengkap,
dengan wujud dan
letak obyek yang
mirip dengan wujud dan letak di permukaan bumi dalam liputan yang luas. Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu obyek, daerah, atau fenomena, hasil rekaman
pantulan dan atau pancaran obyek
oleh sensor penginderaan
jauh, dapat berupa foto atau
data digital (Purwadhi,
2001).
Penginderaan jauh digunakan untuk menganalisis data citra landsat yang
digunakan pada
penelitian ini. Análisis citra landsat dilakukan untuk
mengidentifikasi penggunalan lahan pada
daerah
penelitian. Metode yang
dilakukan adalah
mempelajari dan melakukan interpretasi/penafsiran dengan melihat perbedaan warna untuk pengenalan jenis penggunaan lahan. Setiap warna
dalam citra satelit memberikan
makna tertentu. Warna hijau mengidentifikasi
adanya
vegetasi dan makin hijau warnanya menunjukkan bahwa vegetasinya
semakin lebat. Warna biru
menunjukkan kenampakan air dan semakin biru atau biru
kehitaman menunjukan bahwa
wilayah tersebut berarti tergenang. Bila warna
biru ada kesan petak-petak yang
ukurannya lebih besar dan lokasina
dekat dengan
garis pantai berarti areal tersebut adalah areal tambak. Unsur pola dan site/lokasi
dapat digunakan
untuk mengenali jenis penggunaan lahan dan tanaman/vegetasi
yang tumbuh di daerah tersebut. Sebagai contoh,
bila ada kenampakan hijau pada wilayah
berpetak pada dataran rendah
hal
ini mengidentifikasikan adanya lahan
sawah yang
ditanami padi. Warna hijau pada daerah berpola aliran radial
sentrifugal menunjukkan adanya
vegetasi/tanaman tahunan atau hutan yang tumbuh
di daerah berlereng (berbukit dan bergunung) .
8. Sistem SatelitLandsat 7 ETM+
Citra Landsat TM dan Landsat ETM+ memiliki ukuran piksel sebesar 30 meter.
Citra Landsat ETM+
memiliki band pankromatik yang mampu menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi 15 meter. Hal ini memungkinkan
untuk menghasilkan citra multispektral pankromatik yang
dipertajam (citra
gabungan
pankromatik dan
multispektral dengan resolusi spektral
7 band
dan resolusi spasial 30 meter) tanpa merektifikasi citra yang satu ke citra lainnya. Hal
ini disebabkan citra pankromatik
dan multispektral direkam degan sensor yang sama, sehingga bisa di register secara otomatis. Citra Landsat 7 juga memiliki band
thermal yang dipertajam (Prahasta,2008).
Kelebihan citra landsat
adalah
variasi
band yang
memungkinkan citra untuk
diolah menjadi citra
komposit. Komposit yang digunakan untuk identifikasi
penggunaan lahan adalah komposit 453, untuk identifikasi vegetasi dan pertanian
digunakan band komposit 432, dan untuk
identifikasi hidrologi digunakan band
kompsit 321. Pada penelitian ini komposit citra landsat yang digunakan adalah
komposit 453 yang berguna untuk interpretasi penggunaan lahan. Penggunaan kompsit 453 untuk identifikasi penggunaan lahan dikarenakan band 4 berguna untuk
membedakan vegetasi
dan tanah, tanah
dengan air, menggambarkan badan air,
membantu mengidentifikasi tanah pertanian, band 5 menentukan jenis tanaman,
kandungan air pada
tanaman
dan
kelembapan tanah, band 3 dapat
digunakan untuk membedakan vegetasi dan bukan vegetasi. (Lillesand dan
Kiefer,1990)
PENELITIAN SEBELUMNYA
Beberapa penelitian sebelumnya yang
berhubungan dengan studi banjir
adalah
sebagai berikut:
Miftakul Huda (2002) dalam
penelitiannya yang berjudul “Aplikasi Foto
Udara Pankromatik Hitam
Putih dan
Sistem Informasi Geografis dalam
penentuan Kerentanan Banjir Kota di Kecamatan Tanah Abang
Jakarta Pusat”.
Tujuan penelitian ini adalah aplikasi foto udara pankromatik hitam putih dalam
menyadap informasi parameter fisik lahan yang dapat mempengaruhi kerentanan
banjir kota dengan Sistem Infromasi Geografis serta menghitung debit banjir
tiap- tiap lahan. Metode yang digunakan adalah metode tumpangsusun/overlay
pada
tiap-tiap parameter
melalui proses skoring. Hasil penelitian berupa Peta Kerentanan Banjir Kota Kecamatan Tanahabang Jakarta
Pusat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
peta kerentanan banjir
kota terbagi menjadi lima kelas
kerentanan. Pada penelitian ini daerah sangat rentan banjir memilki luas 293,83
Ha, berada pada daerah dengan kemiringan 0-3%
dengan kerapatan saluran
drainese jarang seperti pada daerah
Kelurahan Kampung
Bali. Daerah
tidak
rentan banjir berada pada daerah yang tinggi dengan kondisi fisik geografi relief
berombak dengan
kerapatan
saluran drainese yang rapat.
Eko Kustiyanto,
(2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Aplikasi
Sistem Informasi Geografis
Untuk
Zonasi Tingkat
Kerentanan Banjir : Studi
Kasus Kabupaten
Purworejo Provinsi
Jawa Tengah”. Tujuan penelitian ini adalah
pemanfaatan
Sistem Informasi Geografi
untuk
pembuatan
zonasi kerentanan banjir dan mengetahui agihan
atau sebaran spasial wilayah-wilayah rentan banjir.
Metode analisis
yang digunakan adalah metode
tumpaangsusun
terhadap
parameter kerentanan banjir.
Hasil analisis
berupa Peta Kerentanan Banjir
Kabupaten Purworejo mengelompokkan
kerentanan banjir ke
dalam 4 kelas; sangat rentan, rentan, cukup rentan, dan tidak rentan.
Kelas dengan kerentanan
banjir sangat berada
dibagian tengah dan sempadan sungai dengan luas 254,452
km2 atau 24,355 % dari wilayah
daerah penelitian.
Pertemuan ilmiah tahunan MAPIN XIV yang bertempat di Surabaya pada
bulan september 2005 membahas “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk
Peningkatan
Kesejahteraan Bangsa”. Salah satu hasil dari
pertemuan tersebut adalah analisis genangan air hujan di kawasan delta
dengan menggunakan sistem informasi geografis. Daerah penelitian adalah wilayah Sidoarjo yang merupakan
sebuah delta yang diapit oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Surabaya dan Sungai
Porong. Penelitian ini
menggunakan
metode rasional untuk
menghitung debit
maksimum dengan rumus QMaks=CIA/360 m3/detik. Citra Lansat ETM
7 diolah menjadi klasifikasi tutupan lahan dan selanjutnya diubah menjadi data vektor. SIG digunakan untuk menumpangsusun ketiga
data vektor (tutupan lahan,tektur tanah dan kelerengan), guna mendapatkan
harga koefisien limpasan (C). Dengan menggunakan distribusi
Gumbel dan rumus Mononobe data curah hujan dari 28 stasiun pengamat hujan selama
10 tahun (1994-2002) diolah untuk mendapatkan
nilai Intensitas maksimum (I). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
daerah rawan genangan terletak pada daerah yang
lebih rendah dengan kemiringan lereng yang
cukup bervariasi yaitu 0-0,25%
dan
1,25-1,5%, daerah tutupan lahan berupa
pemukiman, sawah irigasi, tambak, daerah dengan
tekstur tanah lempung, dan
daerah dengan curah hujan yang berkisar antara 1700-2000mm
pertahun.
Agus Joko Protomo (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Kerentanan Banjirdi Daerah AliranSungai Sengkarang
Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa
Tengah Dengan Bantuan Sistem Informasi Geografis”. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui agihan dan karakterik
kerentanan banjir di
DAS Sengkarang. Dalam peneltian ini analisis kerentanan banjir dilakukan dengan menggunakan metode overlay
pada parameter-parameter banjir. Parameter yang
digunakan adalah bentuklahan,
penggunaan lahan, kemiringan lereng dan
Infiltrasi tanah. Hasil penelitian menunjukan bahwa DAS sengkarang memiliki
tingkat kerentanan banjir sampai sangat rentan cukup luas yaitu sebesar
42,79% dari luas DAS. Titik-titik kerentanan banjir sangat rentan berada
pada daerah sekitar pantai, meander sungai, asosiasi tekuk lereng
dan
meander, asosiasi tekuk
sungai
dan pertemuan sungai, pertemuan
dua
sungai besar dan daerah
cekungan.
KERANGKA PENELITIAN
Laju dan volume air
larian suatu
DAS
dipengaruhi oleh
penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang
bersangkutan.. Pada daerah dengan intensitas curah hujan tinggi, kapasitas infiltrasi akan
terlampaui dengan beda cukup besar dibandingkan hujan yang kurang intensif. Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Pada hujan dengan intensitas yang sama dan dengan
waktu yang lebih lama akan menghasilkan air larian yang besar. Umumnya laju air larian
dan
volume terbesar terjadi ketika seluruh DAS tersebut ikut berperan. Dengan kata lain
hujan turun merata di seluruh
wilayah DAS yang bersangkutan.
Penggunaan lahan berpengaruh pada resapan curah hujan yang
jatuh ke permukaan
tanah.
Penggunaan lahan merupakan parameter pertama yang
merespon curah hujan ke
dalam wilayah DAS
dan memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya infiltrasi, air larian, dan aliran sungai. Air hujan yang
jatuh di
atas permukaan vegetasi
yang lebat
tidak
langsung
mengalir ke permukaan tanah. Untuk sementara air
tersebut akan ditampung oleh tajuk,
batang dan cabang
vegetasi. Intersepsi air hujan (rainfall interception loss) adalah proses
ketika air hujan jatuh ke permukaan vegetasi, tertahan untuk beberapa saat, untuk
kemudian diuapkan kembali ke atsmosfer
atau diserap oleh vegetasi yang
bersangkutan. Besarnya infiltrasi pengaruhi oleh jenis, kerapatan dan tipe
vegetasi yang
terdapat pada penggunaan lahan, sehingga semakin kecil penutupan tajuk vegetasi pada
penggunaan lahan semakin besar air lolos yang akan sampai ke permukaan tanah dan dengan demikian,
menurunkan jumlah
air terintersepsi yang
pada akhirnya meningkatkan debit air
larian.
Proses
infiltrasi tanah dipengaruhi beberapa faktor, antara
lain tekstur dan struktur tanah. Tekstur dan struktur
tanah menentukan penyebaran pori-pori
tanah yang berpengaruh pada laju infiltrasi dan kemampuan tanah dalam menampung air. Besarnya laju infiltrasi pada
permukaan tanah tidak bervegetasi tidak akan
pernah melebihi laju intensitas curah hujan. Untuk wilayah berhutan besarnya laju infiltrasi tidak akan pernah melebihi laju intensitas curah hujan
efektif. Jika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi maka akan terjadi genangan air
diatas permukaan tanah
dan
aliran permukaan.
Kemiringan lereng berpengaruh pada jumlah dan kecepatan limpasan permukaan, drainese permukaan,
penggunaan lahan
dan
erosi. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin
cepat
laju
air larian,
dan dengan demikian, mempercepat respon DAS tersebut oleh
adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti
kemiringan lereng,
keadaan
parit, dan bentuk-bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume
air
larian. DAS dengan sebagian besar bentang
lahan datar atau pada daerah dengan cekungan-
cekungan tanah tanpa
saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan air larian yang lebih kecil dibandingkan daerah DAS dengan kemiringan lereng
lebih
besar serta pola pengairan yang dirancang dengan baik. Dengan kata lain, sebagian
aliran air ditahan
dan diperlambat kecepatannya sebelum
mencapai
lokasi, sehingga kemungkinan
terjadinya genangan
atau banjir menjadi
besar.
INI ada tema skripsi tentang GIS : Klik Saya...
Analisis kerentanan banjir dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis. Data-data yang
digunakan diproses dengan menggunakan
fungsi analisis overlay. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa
peta. Data tersebut merupakan hasil pengharkatan pada masing-masing
parameter
kerentanan
banjir sebelum dilakukan
proses
overlay. Hasil pengolahan data
berupa data kerentanan banjir secara
kuantitatif dalam bentuk skor kerentanan banjir yang di persentasikan
secara
spasial ke dalam
bentuk peta
kerentanan
banjir.
DATA DAN METODE
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dilengkapi dengan survei
lapangan. Tahapan dalam
penelitian ini adalah
1. Studi pustaka dan
penentuan
daerah Penelitian
Pemlilihan daerah penelitian dilakukan
untuk
mengetahui
gambaran umum
mengenai daerah yang akan diteliti. Alasan pemilihan DAS Juwana
sebagai
daerah penelitian adalah:


2. Pengumpulan
data
Penelitian ini menggunakan data primer
dan data sekunder. Data primer
yang digunakan adalah data hasil wawancara dengan penduduk di lokasi
kerentanan banjir. Data wawancara penduduk digunakan sebagai kajian risiko
bencana banjir berbasis masyarakat dan untuk memperkuat hasil analisis kuantitatif dalam penelitian ini. Data-data yang diperlukan meliputi; periode ulang, lama genangan,
kettinggian genangan.
Data sekunder yang digunakan adalah:
a. Data
curah hujan time series
b. Peta Kemampuan Tanah DAS Juwana
c. Peta Rupa
Bumi Indonesia
Skala 1:25.000
3. Alat
penelitian
Alat yang digunakan
dalam
penelitian ini adalah:
Seperangkat
komputer untuk pengolahan data
Software ArcGIS 9.3



|
Printer


4. Pengolahan
dan analisis data
Pengolahan data dilakukan dengan
pembuatan geodatabase dan
Sistem Informasi Geografis. Pembangunan geodatabse
adalah pembangunan
basis data yang
terkoneksi dengan system informasi geospasial. Pada
pembangunan basis data ini dilakukan pengisian atribut
untuk setiap
fitur (dapat berupa fitur titik,
garis
dan
area) pada setiap unsure
sesuai dengan layer
yang berkaitan. Atribut
setiap fitur tersebut disimpan dalam bentuk table database digital. Pembuatan Sistem Informasi Geografis Pada tahap ini
dibangun suatu koneksi (link)
antara
basis data yang berformat
tekstual
dengan data spasial yang bersesuaian secara digital dengan software arcgis,
sehingga mudah
di akses dan direvisi apabila terjadi
perubahan
Metode
analisis yang
digunakan adalah metode analisis kuantitatif dengan menggunakan fungsi analisis tumpangsusun/overlay.
Overlay dilakukan pada
peta curah hujan, kemiringan lereng, peta
infiltrasi tanah dan peta penggunaan lahan yang
merupakan parameter kerentanan banjir yang digunakan dalam
penelitian
ini.
Tabel 1.1 Klasifikasi
Curah Hujan
No
|
Curah Hujan (mm/th)
|
Harkat
|
1
|
> 3000
|
5
|
2
|
2500 –
3000
|
4
|
3
|
2000 –
2500
|
3
|
4
|
1500 –
2000
|
2
|
5
|
<1500
|
1
|
Sumber : Darmawijaya (1980) dengan modifikasi
Tabel 1.2 Klasifikasi
Infiltrasi Tanah
No
|
Infiltrasi
|
Harkat
|
1
|
Lambat
|
5
|
2
|
Agak Lambat
|
4
|
3
|
Sedang
|
3
|
4
|
Agak Cepat
|
2
|
5
|
Cepat
|
1
|
Sumber : Gunawan (1991) dalam Suprojo (1993)
Tabel 1.3 Klasifikasi
Kemiringan Lereng
No
|
Kemiringan Lereng (%)
|
Harkat
|
1
|
0 – 2
(Datar)
|
5
|
2
|
3 – 8 (Landai)
|
4
|
3
|
9 – 15
(Miring)
|
3
|
4
|
16 –
25 (Curam)
|
2
|
5
|
> 25 (Terjal)
|
1
|
Sumber : Zuldam (1979), CSR/FAO
dan Staff (1983)
dalam Anonim (2005)
Tabel 1.4 Klasifikasi
Penggunaan Lahan
No
|
Penggunaan Lahan
|
Harkat
|
1
|
Sungai, waduk, rawa
|
5
|
2
|
Permukiman, kebun campur,
tanaman
pekarangan
|
4
|
3
|
Pertanian, sawah, tegalan
|
3
|
4
|
Hutan tidak rapat, perkebunan,
semak
|
2
|
5
|
Hutan rapat , Sawah Tadah
Hujan
|
1
|
Sumber : Meijerink (1970) dalam Eko Kustiyanto (2004) dengan modifikasi
|
Metode
aritmatika yang digunakan pada proses overlay dapat berupa penambahan, pengkalian, dan perpangkatan.
Untuk
pembuatan peta Kerentanan Banjir metode aritmatika yang
digunakan pada proses overlay
adalah metode penjumlahan skor di setiap parameter-parameter yang
digunakan. Formula yang digunakan dalam proses overlay dengan menggunakan metode
aritmatika adalah
:
(Rumus
1)

SRB : Skor
Rawan
Banjir
CH : Curah Hujan
IT : Infiltrasi
Tanah
KL : Kemiringan Lereng
PL : Penggunaan Lahan
Tujuan Pembuatan nilai interval kelas kerentanan banjir setiap kelas
tingkat kerentanan banjir adalah untuk membedakan kelas
kerentanan banjir yang
satu dengan yang lainnya menggunakan nilai
range kelas kerentanan banjir. Kerentanan Banjir
ini terbagi menjadi 4 kelas tingkat kerentanan, yaitu
sangat rentan, rentan,
cukup rentan,
dan
tidak rentan. Nilai interval ditentukan dengan pendekatan relatif yaitu dengan cara melihat
nilai maksimum dan
minimum di setiap satuan pemetaan. Interval diperoleh dari
selisih antara skor maksimum dengan skor minimum yang
berbanding terbalik dengan jumlah
kelas yang dapat
di formulasikan sebagai berikut :

(Rumus
2)
Keterangan
:
I : Interval
R : Selisih
nilai maksimum – nilai
minimum
N : Jumlah Kelas
Setelah didapat hasil klasifikasi kelas kerentanan banjir
dilakukan analisis untuk melihat variabel apa yang
paling
berpengaruh signifikan
terhadap kerentanan banjir
pada daerah rentan banjir. Analisis dilakukan
dengan metode analisis regresi
liniear berganda. Analisis liniear berganda digunakan untuk mengukur pengaruh antara lebih
dari satu variabel prediktor (varieable
bebas) terhadap
variabel terikat. Dalam penelitian ini terdiri dari empat
variabel yaitu curah hujan sebagai
variabel bebas kesatu,
infiltrasi
tanah
sebagai
variabel
bebas
kedua,
kemiringan lereng sebagai
variabel
bebas
ketiga, dan penggunaan
lahan sebagai
variabel
bebas
keempat.
Y = a + b1X1 + b2X2 + …+bnXn
(Rumus
3)
Y = Variabel Terikat a = Konstanta
b1.b2 = Koefisien Regresi
X,X2 = Variable Bebas (Curah Hujan, Infiltrasi Tanah, Kemiringan
Lereng, Penggunaan Lahan)
5. Hasil Penelitian
Tahap akhir
dari penelitian
ini adalah pembuatan Peta Kerentanan
Banjir di DAS Juwana Kabupaten Pati dan
Laporan penelitian berjudul
:
Tingkat Kerentanan Banjir Dengan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis di DAS Juwana Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Comments
Post a Comment